Wednesday, 25 November 2015

CITRA PEREMPUAN DALAM NOVEL SUPERNOVA 3 PETIR KARYA DEWI LESTARI (DEE)


CITRA PEREMPUAN DALAM NOVEL SUPERNOVA 3 PETIR KARYA DEWI LESTARI (DEE)
Kartikasari F.
Surel: ksari8015@gmail.com

PENDAHULUAN
Dominasi kaum laki-laki dibandingkan perempuan sudah ada sejak dulu. Keberadaan perempuan seringkali hanya dianggap sebagai pelengkap. Bukan hanya keberadaannya tapi kemampuannya pun tidak kalah diremehkan dari kaum laki-laki. Kemampuan perempuan dalam berbagai hal dianggap terbatas. Perempuan dianggap hanya bisa memasak, mencuci, melahirkan, dan tugas rumah tangga yang lain. Dalam hal sastra peranan perempuan pun dianggap kurang karena diragukan kemampuannya.

Feminisme muncul sebagai gerakan perlawanan terhadap masyarakat yang patriarki. Patriarki berarti kekuasaan bapak atau patriarch. Istilah ini secara umum digunakan untuk menyebut kekuasaan laki-laki; hubungan kuasa dengan apa laki-laki meguasai perempuan, dan untuk menyebut sistem yang menguasai perempuan tetap dikuasai melalui berbagai macam cara. Patriarki membentuk laki-laki sebagai superordinat dalam kerangka hubungan dengan perempuan yang dijadikan sebagai subordinatnya.
Karya sastra merupakan cerminan dari kejadian nyata di masyarakat. Karya sastra juga dilahirkan sebagai tiruan kehidupan ini. Segala hal yang ada dalam karya sastra dapat diasumsikan sebagai hal yang terjadi di dunia nyata ini.

METODE PENELITIAN
Sumber data penelitian ini berupa novel berjudul Supernova 3 Petir yang ditulis oleh Dewi Lestari (DEE), diterbitkan oleh penerbit Truedee Pustaka Sejati tahun 2010, dan terdiri dari 225 halaman. Data diperolah dengan metode simak (membaca) yang diikuti dengan teknik catat. Teknik analisis data menggunakan content analysis yang berpijak pada teori feminis dalam penelitian sastra. Langkah
pengkajian prosa fiksi (novel) berdasarkan feminis dapat dilakukan dengan mendeskripsikan berbagai isu berkaitan dengan wanita dalam perspektif feminis berdasarkan kenyataan teks.
KRITIK SASTRA FEMINIS
Dalam keadaan nyata, dominasi laki-laki terhadap perempuan, telah mempengaruhi kondisi sastra, antara lain: (1) nilai dan konvensi sastra sering didominasi oleh kekuasaan laki-laki, sehingga wanita selalu berada pada posisi berjuang terus-menerus ke arah kesetaraan gender; (2) penulis laki-laki sering berat sebelah, sehingga menganggap wanita adalah objek fantastis yang menarik. Wanita selalu dijadikan objek kesenangan sepintas oleh laki-laki. Karya-karya demikian selalu memihak, bahwa wanita sekadar orang yang berguna untuk melampiaskan nafsu semata; (3) wanita adalah figur yang menjadi bunga-bunga sastra, sehingga sering terjadi tindak asusila laki-laki, pemerkosaan, dan sejenisnya yang seakan-akan memojokkan wanita pada posisi lemah (tak berdaya).
Dari kenyataan tersebut muncullah gerakan feminisme yang ingin mengakhiri penindasan kepada para perempuan. Gerakan feminis bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum wanita. Dasar pemikiran dalam penelitian sastra berperspektif feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra. Peran dan kedudukan perempuan tersebut akan menjadi sentral pembahasan penelitian sastra. Peneliti akan memperhatikan dominasi laki-laki atau gerakan perempuan.
Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan feminisme, hal yang difokuskan antara lain seperti kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam sastra, ketertinggalan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan dan aktifitas kemayarakatan, memperhatikan faktor pembaca sastra, khususnya bagaimana tanggapan pembaca terhadap emansipasi wanita dalam sastra. Jika peneliti mampu mengungkap ketiga fokus tersebut, setidaknya akan terbaca pula tujuan penelitian feminis sastra yang dikemukakan  Kuiper (Sugihastuti dan Suharto, 2002: 68), yaitu: (a) untuk mengkritik kanon karya sastra dan untuk menyoroti hal-hal yang bersifat standar yang didasarkan pada patriarkhal; (b) untuk menampilkan teks-teks yang diremehkan yang dibuat perempuan; (c) untuk mengokohkan gynocritic, yaitu studi teks-teks yang dipusatkan pada perempuan, dan untuk mengokohkan kanon perempuan; (d) untuk mengeksplorasi konstruksi kultural dari gender dan identitas.
Beberapa sasaran tersebut akan tercapai dengan sukses apabila peneliti feminisme sastra memanfaatkan kajian kualitatif. Data-data yang diambil berupa data deskriptif kualitatif, misalkan tentang deskripsi status dan peran perempuan dalam keluarga, masyarakat, dan lingkungan pekerjaan. Data-data ini harus dibahas secara proporsional, artinya dari sudut pandang laki-laki melihat perempuan, melainkan menggunakan sudut pandang perempuan.
Sasaran penting dalam analisis feminisme sastra sedapat mungkin berhubungan dengan hal-hal seperti pertama, mengungkap karya-karya penulis wanita masa lalu dan masa kini agar jelas citra wanita yang merasa ditekan oleh tradisi. Dominasi buidaya patriarkhal haruis terungkap secara jelas dalam analisis. Kedua, mengungkap berbagai tekanan pada tokoh wanita dalam karya yang ditulis oleh pengarang pria. Ketiga, mengungkap ideologi pengarang wanita dan pria, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata. Keempat, mengkaji dari aspek ginokritik, yakni memahami bagaimana proses kreatif kaum feminis. Apakah penulis wanita memliki kekhasan dalam gaya dan ekspresi atau tidak. Kelima, mengungkap aspek psikoanalisa feminis, yaitu mengapa wanita, baik tokoh maupun pengarang lebih suka terhadap hal-hal yang halus, emosional, penuh kasih sayang, dan sebagainya.
Dari berbagai sasaran tersebut, seharus sudut pandang yang digunakan adalah peneliti sebagai Reading as woman membaca sebagai wanita. Pendek kata, peneliti dalam memahami karya sastra harus menggunakan kesadaran khusus, yaitu kesadaran bahwa jenis kelamin banyak berhubungan dengan masalah keyakinan, ideologi, dan wawasan hidup. Kesadaran khusus peneliti untuk memahami karya sastra sangat diperlukan. Perbedaan jenis kelamin, akan mempengaruhi pemaknaan cipta sastra.
Sejalan dengan kodratnya, teks sastra yang dilahirkan  pengarang laki-laki dan wanita memang sering berbeda keduanya sering kental dalam hal-hal perjuangan terhadap nasib masing-masing. Itulah sebabnya, kondisi ini telah memunculkan paham penelitian sastra yang orientasinya ke arah perjuangan hak. Lebih jauh lagi, kajian sastra serupa juga telah melebar ke arah perbedaan-perbedaan hakiki laki-laki dan perempuan.
Upaya penelitian demikian lalu memunculkan teori pengkajian feminisme sastra. Dari sini pengakajian sastra feminis dapat ke arah dua sasaran, yaitu: (1) bagaimana pandangan laki-laki terhadap wanita dan (2) bagaimana sikap wanita dalam membatasi dirinya. Keduanya akan berpusar lebar ke dalam teks sastra yang jalin-menjalin dengan budaya masing-masing wilayah. Jadi walaupun banyak kajian yang mengungkapkan feminisme, tapi wanita juga harus tetap tahu batasan-batasan kedudukannya. Artinya wanita tidak melampaui pria dan tetap dalam batasan budaya-budaya di daerah mereka.

CITRA WANITA DALAM NOVEL SUPERNOVA 3 PETIR KARYA DEWI LESTARI (DEE)
Novel Supernova 3 Petir adalah novel yang mengisahkan seorang wanita yang bernama Elektra. Ia ditinggal meninggal oleh ayahnya dan kemudian harus mengurus rumahnya dan bertahan hidup. Sedangkan kakaknya yang bernama Watti menikah dan tidak mengurusnya lagi. Novel ini menceritakan sebuah perjuangan perempuan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan hidup yang digambarkan melalui tokoh Elektra. Perjuangan wanita yang digambarkan ini adalah bentuk dari penggambaran kemampuan wanita yang seharusnya tidak diremehkan oleh siapa pun. Dalam novel ini, juga digambarkan kegigihan dari seorang wanita untuk menempuh hidupnya meskipun dalam kesendirian. Citra wanita dalam novel tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut ini:

Semenjak dedi meninggal karena stroke, tidak ada yang berminat meneruskan tempat ini. Kedua anak perempuannya tak suka listrik, ogah mengatur karyawan, apalagi mengurus perbukuan.
(Supernova 3 Petir 2010: 11)

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa sikap asli wanita tidak menyukai listrik. Sikap itu pun merupakan sikap yang manusiawi dari wanita. Kemungkinan mereka tidak hanya tak suka tapi juga takut terhadap listrik. Elektra pun melakukan usaha lain yang dapat ia lakukan untuk bertahan hidup.
Watti lebih suka ikut suaminya yang bertugas jadi staf medis di Freepot. Ia selalu berbicara soal Tembagapura. Tembagapura memang tempat ideal bagi wanita domestik seperti Watti yang menunggui suaminya pulang sambil merajut baju hangat di sofa keluarga. Kota Amerika kecil berketinggian 2000-an meter di atas permukaan laut itu menyediakan kegiatan dari mulai kursus bahasa asing, fitness, club—persembaha dari perusahaan bagi ibu-ibu rumah tangga supaya mereka tidak merepotkan suaminya dengan ketidakseimbangan hormon atau waktu yang terlalu luang. Waktu adalah uang, tapi waktu yang terlalu luang adalah bentuk lain dari kemiskinan. Dan orang yang miskin dapat berontak tanpa takut kehilangan apa-apa.
(Supernova 3 Petir 2010: 11)

Dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa Elektra tidak menyukai wanita domestic atau yang digambarkan dengan tokoh Watti kakaknya sendiri. Bagi Elektra, wanita pun dapat berkarya dan memanfaatkan waktu-waktunya untuk melakukan usaha-usaha bukan sekedar menunggui suaminya pulang dari kantor.

Aku mulai senang. Terus mas kawinnya yang mahal-mahal Ded! Watti kan cantik, jadi harus dibeli dengan harga yang mahal, sambungku sembari cengar-cengir. Kulirik Watti yang agak tersipu. Sejak kapan adikku memuji, mungkin begitu pikirnya. Ia masih belum sadar betapa lucu ini semua. Perkawinan ini terdengar seperti perdagangan. Watti sebagai barang jualan yang harus ditebus dengan harga setinggi-tingginya. Namun sebelum dibawa pergi, ia harus dilap-lap, dibersih-bersihkan, dicemplung-cemplungkan ke salon untuk mengambil lulur paket pengantin.
(Supernova 3 Petir 2010: 32)

Dari kutipan di atas tampak bahwa tokoh Elektra tidak menyukai suatu pernikahan yang diibaratkan dengan perdagangan. Ia menilai bahwa pernikahan yang diibaratkan perdagangan merupakan hal yang lucu. Secara tidak langsung, penulis ingin menyampaikan bahwa wanita bukanlah sebuah dagangan yang dapat ditukar dengan benda-benda lain tertentu agar dapat memilikinya. Wanita memiliki nilai lebih daripada itu.

Maka kujalankanlah sebuah falsafah sederhana. Berhenti berpikir ke luar, tapi bereskan dulu yang di dalam. Lihatllah rumah ini . . . rumah yang berharga miliaran ini . . . betapa busuknya, bau, pengap, sumpek. Padahal inilah modal yang bisa kujual sekaligus kubanggakan. Betapa kerennya konsep ini nanti: Elektra, si gadis sebatangkara, mandiri dan tabah mengarungi hidup, tinggal di rumah besar dan cantik berlokasi strategis.
(Supernova 3 Petir 2010: 38)

Kutipan di atas menunjukkan saat Elektra mulai berpikir akan usaha apa yang hendak ia lakukan dalam mengarungi hidupnya yang sendiri. Dalam kehidupannya yang sebatang kara ia tetap bersemangat. Ia melantunkan kata-kata yang dapat membuatnya bersemangat sendiri. Ia juga tetap bisa berbangga hati meskipun hidup dalam serba kekurangan.

Seluruh kemampuanku rasa-rasanya sudah habis tergali. Tapi aku belum putus asa. Selagi Watti sibuk dengan kegilaannya akan Tembagapura, aku harus menjajaki kemungkinan teori genetika dagang tadi. Siapa tahu? Cina asli atau Cina palsu, yang jelas Elektra tidak mudah menyerah.
(Supernova 3 Petir 2010: 42)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Elektra seorang wanita yang tidak mudah putus asa. Dia tidak mudah menyerah menghadapi masalah ekonomi yang ia hadapi setelah ayahnya meninggal dunia. Elektra pun mencoba kemungkinan yang mungkin bisa ia lakukan yakni berdagang.
Oke, aku jujur: aku putus asa. Naun ada satu prinsip yang kupegang teguh sampai kapanpun, dalilku tertinggi. Elektra’s golden rules: EBOTANG. Enggak Boleh Ngutang.
(Supernova 3 Petir 2010: 45)

Dalam menghadapi kesulitan hidupnya tapi Elektra tetap menjaga prinsipnya. Ia berprinsip tidak boleh hutang pada siapapun. Hutang merupakan hal yang dilakukan oleh orang yang telah kehabisan usaha untuk menangani masalahnya. Dalam hal ini ditunjukkan bahwa Elekra adalah wanita yang kuat dan berpendirian teguh pada prinsip yang talah ia buat sendiri.

Selama ini aku bertahan hidup dari hasil tabunganku sendiri. Tapi gara-gara mempercantik rumah, dengan cepat uangku menipis.
(Supernova 3 Petir 2010: 49)


Dari kutipan di atas terlihat bahwa Elektra merupakan wanita yang rajin menabung. Pada dasarnya wanita yang baik dapat mengalokasikan uangnya dengan baik. Wanita dapat menghemat uangnya lebih baik daripada laki-laki. Hal tersebut merupakan salah satu kelebihan dari wanita.

Elektra, Upik Abu miskin yang terpenjara dalam kastil besar dengan stok telur yang semakin menipis. Puncaknya, aku menangis. Sudah lama sekali tidak. Padahal aku sering menyadari betapa mengibakannya nasibku, …
(Supernova 3 Petir 2010: 67)

Sekuat-kuatnya wanita, wanitapun tetap juga bisa menangis. Saat dalam keadaan yang sangat buruk pun Elektra menangis walaupun sebenarnya ia merupakan wanita yang kuat dan tidak pernah menangis. Tapi pada saat menghadapi masalah yang terlalu berat ia tak kuasa menahan tangisnya.

Edun, berani pisan malam-malam! Sendirian lagi. Ngetes jimat? Ia tertawa. Yuk, saya antar!
(Supernova 3 Petir 2010: 82)

Sebagai wanita, Elektra termasuk wanita yang berani karena dia berani keluar malam untuk ke kuburan sendirian. Hal tersebut ia lakukan dalam keadaan yang sangat terjepit. Dalam keadaan itu adrenalinnya pun ikut bertindak sehingga ia berani.
Dua hari kemudian aku suda bisa scan fotoku sendiri, pergi ke meja printer dengan percaya diri tanpa perlu bantuan Betsye ataupun asistennya, Kewoy. Bahkan mereka berdua mengakui kemajuan pesatku.
(Supernova 3 Petir 2010: 105)

Elektra merupakan wanita yang pintar dan mudah menyesuaikan diri terhadap teknologi yang baru. Ia mudah belajar dan mudah menerima apa yang diajarkan temannya. Meskipun ia cenderung ketinggalan namun ia tetap mengejar ketertinggalannya dengan belajar sungguh-sungguh dan akhirnya memperoleh perkembangan yang pesat.

Malam itu kukitari rumah berkali-kali. Bayangan demi bayangan melekat di benak. Semakin lama semakin jelas. Komputer-komputer . . . suara-suara . . . seolah bisa kuraba dan kudengar saat itu juga. Semua itu menghasilkan---uang?
(Supernova 3 Petir 2010: 121)

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa Elektra memiliki alur pemikiran yang baik karena ia dapat membayangkan usaha yang akan ia lakukan. Pemikiran ini merupakan pemikiran yang kreatif yang dapat menghasilkan inovasi baru dalam hidupnya.

Warnet memang bukan bisnis yang cepat mengembalikan investasi, tapi cukup buat makan sehari-hari. Bagiku, itu seperti kembali menabung dalam celengan ayam. Bukankah persistensiku sudah teruji? Empat tabungan kanak-kanak terbukti berhasil menghidupi seorang Elektra. Kini aku memulai tabungan orang gede, dengan warnet sebagai celengan pertama.
(Supernova 3 Petir 2010: 123)

Setelah Elektra memikirkan usaha yang akan ia lakukan, ternyata warnetlah yang menjadi pilihan usaha pertamanya. Elektra akan melakukan usaha tersebut dengan sungguh-sungguh dengan menganggap bahwa bisnisnya merupakan tabungan untuk masa depannya seperti yang digambarkan dengan kutipan di atas.

Kewoy pun bersuara: Dipikirkan saja dulu, Tra.
Aku menatap Mpret sekali lagi. Menantang matanya. Kami sudah saling membuai lewat insting maing-masing, selebihnya . . . reaksi kimia. Ada sesuatu di mata bulat itu. Rasa percaya.
Aku mengulurkan tanganku. Anggap ini MoU, ujarku pendek.
(Supernova 3 Petir 2010: 128)

Dalam bisnis Elektra menunjukkan ketegasannya dalam mengambil keputusan yang akan ia lakukan. Ia memutuskan bisnisnya sesuai dengan instingnya tanpa ragu. Keyakinan itulah yang menjadikannya seorang entrepreneur yang hebat kelak di kemudian hari.



Seminggu pertama, ada saat-saat aku ingin meledakkan tangis. Antara bahagia dan ingin gila. Belum pernah aku melihat orang sebanyak itu lalu lalang di rumah. Mentalku dipacu untuk beradaptasi dengan cepat.
(Supernova 3 Petir 2010: 136)

Usaha yang dilakukan Elektra dengan mendirikan warnet terbukti berkembang pesat. Banyak sekali pengunjung yang datang. Hal tersebut membuktikan bahwa wanita juga dapat melakukan usaha seperti bisnis pada bidang tertentu.

Kewoy menyerahkan lehernya pada TOGE. Tak cuma dapat gaji, ia juga menikmati profit sharing. Singkatnya, masa depan yang lebih baik. Cukup fair kan? Dan untuk sikap Betsye aku hanya bisa mengangkat bahu, dan berkata: business is business.
(Supernova 3 Petir 2010: 139)

Kewoy merupakan teman Elektra yang menjabat sebagai manajer dalam usahanya. Ia memilih bekerja bersama Elektra karena hasil yang didapatkannya lebih banyak dari pada di tempat lain. Hal tersebut menunjukkan kemahiran wanita dalam mengelola bisnis yang ia lakukan.

Berawal dari kata kunci Elektra Pop, efek bola salju itu dimulai: ‘oh, Elektra pop? tempat gaul banget, tuh’ – ‘padaal saya langganan nginternet di situ, nggak tahunya yang punya masih saudara jauh’ – ‘teman-teman sekolahku juga pada main CS di sana’ – ‘saya ikut jual tas di distronya lho’ – ‘kan di sana ada tempat pengobatan listrik itu!’ – ‘hal itu kamu?’ – ‘pantas kok kayak sudah pernah ketemu! saya suka mengantar teman kantor berobat ke sana’ – ‘kok bisa, sih? memang bakat? Dan seterusnya.
(Supernova 3 Petir 2010: 199)

Setelah bisnis yang dilakukan Elektra maju, namanya terkenal dimana-mana. Bisnis warnet, distro, dan PSnya pun semakin dikenal banyak orang. Kemudian kelebihan Elektra yang dapat melakukan terapi listrik menambah usahanya semakin maju.



Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa sosok Elektra menggambarkan wanita yang kuat dalam mengarungi hidupnya meski hanya sebatang kara. Selain itu Elektra juga merupakan wanita yang semangat untuk belajar. Ia juga merupakan wanita yang pintar karena dapat memahami setiap perkembangan ilmu pengetahuan dengan cepat.
Dalam perjalannya Elektra juga pernah mengalami kegagalan atau keterpurukan yang membuat ia menangis. Namun Elektra merupakan wanita yang tidak mudah putus asa. Ia tetap berusaha hingga dapat mendirikan sebuah warnet sebagai bisnisnya. Setelah ia mencoba melakukan bisnisnya ternyata hasilnya sangat bagus. Bisnisnya berjalan lancar.

PENUTUP
Dalam novel Supernova 3 Petir menceritakan perjuangan wanita yang menempuh hidupnya sebatang kara karena ayahnya meninggal dunia. Dalam novel tersebut diceritakan bagaimana perjuangan wanita untuk menyelesaikan masalahnya. Wanita memang tidak bisa terlepas dengan tangisan namun wanita juga merupakan makhluk yang tidak mudah untuk putus asa.
Dalam novel tersebut diceritakan bahwa wanita dapat pula berkarir dalam dunia bisnis. Bahkan bisnis yang dilakukan wanita dapat berjalan lancar seperti bisnis yang dilakukan oleh laki-laki. Hal tersebutlah yang merupakan unsur feminis dari novel Supernova 3 Petir.

DAFTAR PUSTAKA
Endaswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publising Service)
Nurhayati. 2012. Pengantar Ringkas Teori Sastra. Yogyakarta: Media Perkasa

No comments:

Post a Comment

“Terima kasih sudah membaca blog saya, silahkan tinggalkan komentar”