CITRA PEREMPUAN DALAM NOVEL SUPERNOVA 3 PETIR KARYA DEWI LESTARI (DEE)
Kartikasari F.
Surel: ksari8015@gmail.com
PENDAHULUAN
Dominasi
kaum laki-laki dibandingkan perempuan sudah ada sejak dulu. Keberadaan perempuan
seringkali hanya dianggap sebagai pelengkap. Bukan hanya keberadaannya tapi
kemampuannya pun tidak kalah diremehkan dari kaum laki-laki. Kemampuan
perempuan dalam berbagai hal dianggap terbatas. Perempuan dianggap hanya bisa
memasak, mencuci, melahirkan, dan tugas rumah tangga yang lain. Dalam hal
sastra peranan perempuan pun dianggap kurang karena diragukan kemampuannya.
Feminisme muncul sebagai gerakan perlawanan terhadap
masyarakat yang patriarki. Patriarki berarti kekuasaan bapak atau patriarch. Istilah ini secara
umum digunakan untuk menyebut kekuasaan laki-laki; hubungan kuasa dengan apa
laki-laki meguasai perempuan, dan untuk menyebut sistem yang menguasai
perempuan tetap dikuasai melalui berbagai macam cara. Patriarki membentuk
laki-laki sebagai superordinat dalam kerangka hubungan dengan perempuan yang
dijadikan sebagai subordinatnya.
Karya
sastra merupakan cerminan dari kejadian nyata di masyarakat. Karya sastra juga
dilahirkan sebagai tiruan kehidupan ini. Segala hal yang ada dalam karya sastra
dapat diasumsikan sebagai hal yang terjadi di dunia nyata ini.
METODE PENELITIAN
Sumber
data penelitian ini berupa novel berjudul Supernova
3 Petir yang ditulis oleh Dewi
Lestari (DEE), diterbitkan oleh penerbit Truedee Pustaka Sejati tahun 2010, dan
terdiri dari 225 halaman. Data diperolah dengan metode simak (membaca) yang
diikuti dengan teknik catat. Teknik analisis data menggunakan content
analysis yang berpijak pada teori feminis dalam penelitian sastra. Langkah
pengkajian
prosa fiksi (novel) berdasarkan feminis dapat dilakukan dengan mendeskripsikan
berbagai isu berkaitan dengan wanita dalam perspektif feminis berdasarkan
kenyataan teks.
KRITIK SASTRA FEMINIS
Dalam keadaan nyata, dominasi laki-laki terhadap
perempuan, telah mempengaruhi kondisi sastra, antara lain: (1) nilai dan
konvensi sastra sering didominasi oleh kekuasaan laki-laki, sehingga wanita
selalu berada pada posisi berjuang terus-menerus ke arah kesetaraan gender; (2)
penulis laki-laki sering berat sebelah, sehingga menganggap wanita adalah objek
fantastis yang menarik. Wanita selalu dijadikan objek kesenangan sepintas oleh
laki-laki. Karya-karya demikian selalu memihak, bahwa wanita sekadar orang yang
berguna untuk melampiaskan nafsu semata; (3) wanita adalah figur yang menjadi
bunga-bunga sastra, sehingga sering terjadi tindak asusila laki-laki,
pemerkosaan, dan sejenisnya yang seakan-akan memojokkan wanita pada posisi
lemah (tak berdaya).
Dari kenyataan tersebut muncullah gerakan feminisme
yang ingin mengakhiri penindasan kepada para perempuan. Gerakan feminis
bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum wanita. Dasar pemikiran dalam
penelitian sastra berperspektif feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan
peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra. Peran dan kedudukan perempuan
tersebut akan menjadi sentral pembahasan penelitian sastra. Peneliti akan
memperhatikan dominasi laki-laki atau gerakan perempuan.
Dalam penelitian yang
menggunakan pendekatan feminisme, hal yang difokuskan antara lain seperti
kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam sastra, ketertinggalan kaum perempuan
dalam segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan dan aktifitas kemayarakatan,
memperhatikan faktor pembaca sastra, khususnya bagaimana tanggapan pembaca
terhadap emansipasi wanita dalam sastra. Jika peneliti mampu mengungkap ketiga
fokus tersebut, setidaknya akan terbaca pula tujuan penelitian feminis sastra
yang dikemukakan Kuiper (Sugihastuti dan
Suharto, 2002: 68), yaitu: (a) untuk mengkritik kanon karya sastra dan untuk
menyoroti hal-hal yang bersifat standar yang didasarkan pada patriarkhal; (b)
untuk menampilkan teks-teks yang diremehkan yang dibuat perempuan; (c) untuk
mengokohkan gynocritic, yaitu studi
teks-teks yang dipusatkan pada perempuan, dan untuk mengokohkan kanon
perempuan; (d) untuk mengeksplorasi konstruksi kultural dari gender dan
identitas.
Beberapa sasaran
tersebut akan tercapai dengan sukses apabila peneliti feminisme sastra
memanfaatkan kajian kualitatif. Data-data yang diambil berupa data deskriptif
kualitatif, misalkan tentang deskripsi status dan peran perempuan dalam
keluarga, masyarakat, dan lingkungan pekerjaan. Data-data ini harus dibahas
secara proporsional, artinya dari sudut pandang laki-laki melihat perempuan,
melainkan menggunakan sudut pandang perempuan.
Sasaran penting dalam
analisis feminisme sastra sedapat mungkin berhubungan dengan hal-hal seperti pertama, mengungkap karya-karya penulis
wanita masa lalu dan masa kini agar jelas citra wanita yang merasa ditekan oleh
tradisi. Dominasi buidaya patriarkhal haruis terungkap secara jelas dalam
analisis. Kedua, mengungkap berbagai
tekanan pada tokoh wanita dalam karya yang ditulis oleh pengarang pria. Ketiga, mengungkap ideologi pengarang
wanita dan pria, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata.
Keempat, mengkaji dari aspek
ginokritik, yakni memahami bagaimana proses kreatif kaum feminis. Apakah
penulis wanita memliki kekhasan dalam gaya dan ekspresi atau tidak. Kelima, mengungkap aspek psikoanalisa
feminis, yaitu mengapa wanita, baik tokoh maupun pengarang lebih suka terhadap
hal-hal yang halus, emosional, penuh kasih sayang, dan sebagainya.
Dari berbagai sasaran
tersebut, seharus sudut pandang yang digunakan adalah peneliti sebagai Reading as woman membaca sebagai wanita.
Pendek kata, peneliti dalam memahami karya sastra harus menggunakan kesadaran
khusus, yaitu kesadaran bahwa jenis kelamin banyak berhubungan dengan masalah
keyakinan, ideologi, dan wawasan hidup. Kesadaran khusus peneliti untuk
memahami karya sastra sangat diperlukan. Perbedaan jenis kelamin, akan
mempengaruhi pemaknaan cipta sastra.
Sejalan dengan kodratnya, teks sastra yang
dilahirkan pengarang laki-laki dan
wanita memang sering berbeda keduanya sering kental dalam hal-hal perjuangan
terhadap nasib masing-masing. Itulah sebabnya, kondisi ini telah memunculkan
paham penelitian sastra yang orientasinya ke arah perjuangan hak. Lebih jauh
lagi, kajian sastra serupa juga telah melebar ke arah perbedaan-perbedaan
hakiki laki-laki dan perempuan.
Upaya penelitian demikian lalu memunculkan teori
pengkajian feminisme sastra. Dari sini pengakajian sastra feminis dapat ke arah
dua sasaran, yaitu: (1) bagaimana pandangan laki-laki terhadap wanita dan (2)
bagaimana sikap wanita dalam membatasi dirinya. Keduanya akan berpusar lebar ke
dalam teks sastra yang jalin-menjalin dengan budaya masing-masing wilayah. Jadi
walaupun banyak kajian yang mengungkapkan feminisme, tapi wanita juga harus
tetap tahu batasan-batasan kedudukannya. Artinya wanita tidak melampaui pria
dan tetap dalam batasan budaya-budaya di daerah mereka.
CITRA WANITA DALAM NOVEL SUPERNOVA 3 PETIR KARYA DEWI LESTARI (DEE)
Novel
Supernova 3 Petir adalah novel yang
mengisahkan seorang wanita yang bernama Elektra. Ia ditinggal meninggal oleh
ayahnya dan kemudian harus mengurus rumahnya dan bertahan hidup. Sedangkan
kakaknya yang bernama Watti menikah dan tidak mengurusnya lagi. Novel ini
menceritakan sebuah perjuangan perempuan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan
hidup yang digambarkan melalui tokoh Elektra. Perjuangan wanita yang digambarkan
ini adalah bentuk dari penggambaran kemampuan wanita yang seharusnya tidak
diremehkan oleh siapa pun. Dalam novel ini, juga digambarkan kegigihan dari
seorang wanita untuk menempuh hidupnya meskipun dalam kesendirian. Citra wanita
dalam novel tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut ini:
Semenjak
dedi meninggal karena stroke, tidak
ada yang berminat meneruskan tempat ini. Kedua anak perempuannya tak suka
listrik, ogah mengatur karyawan, apalagi mengurus perbukuan.
(Supernova
3 Petir 2010: 11)
Dari
kutipan di atas dapat dilihat bahwa sikap asli wanita tidak menyukai listrik.
Sikap itu pun merupakan sikap yang manusiawi dari wanita. Kemungkinan mereka
tidak hanya tak suka tapi juga takut terhadap listrik. Elektra pun melakukan
usaha lain yang dapat ia lakukan untuk bertahan hidup.
Watti
lebih suka ikut suaminya yang bertugas jadi staf medis di Freepot. Ia selalu
berbicara soal Tembagapura. Tembagapura memang tempat ideal bagi wanita
domestik seperti Watti yang menunggui suaminya pulang sambil merajut baju
hangat di sofa keluarga. Kota Amerika kecil berketinggian 2000-an meter di atas
permukaan laut itu menyediakan kegiatan dari mulai kursus bahasa asing, fitness, club—persembaha dari perusahaan
bagi ibu-ibu rumah tangga supaya mereka tidak merepotkan suaminya dengan
ketidakseimbangan hormon atau waktu yang terlalu luang. Waktu adalah uang, tapi
waktu yang terlalu luang adalah bentuk lain dari kemiskinan. Dan orang yang
miskin dapat berontak tanpa takut kehilangan apa-apa.
(Supernova
3 Petir 2010: 11)
Dalam
kutipan di atas menunjukkan bahwa Elektra tidak menyukai wanita domestic atau
yang digambarkan dengan tokoh Watti kakaknya sendiri. Bagi Elektra, wanita pun
dapat berkarya dan memanfaatkan waktu-waktunya untuk melakukan usaha-usaha
bukan sekedar menunggui suaminya pulang dari kantor.
Aku
mulai senang. Terus mas kawinnya yang mahal-mahal Ded! Watti kan cantik, jadi
harus dibeli dengan harga yang mahal, sambungku sembari cengar-cengir. Kulirik
Watti yang agak tersipu. Sejak kapan adikku memuji, mungkin begitu pikirnya. Ia
masih belum sadar betapa lucu ini semua. Perkawinan ini terdengar seperti
perdagangan. Watti sebagai barang jualan yang harus ditebus dengan harga
setinggi-tingginya. Namun sebelum dibawa pergi, ia harus dilap-lap,
dibersih-bersihkan, dicemplung-cemplungkan ke salon untuk mengambil lulur paket
pengantin.
(Supernova
3 Petir 2010: 32)
Dari
kutipan di atas tampak bahwa tokoh Elektra tidak menyukai suatu pernikahan yang
diibaratkan dengan perdagangan. Ia menilai bahwa pernikahan yang diibaratkan
perdagangan merupakan hal yang lucu. Secara tidak langsung, penulis ingin
menyampaikan bahwa wanita bukanlah sebuah dagangan yang dapat ditukar dengan
benda-benda lain tertentu agar dapat memilikinya. Wanita memiliki nilai lebih
daripada itu.
Maka
kujalankanlah sebuah falsafah sederhana. Berhenti berpikir ke luar, tapi
bereskan dulu yang di dalam. Lihatllah rumah ini . . . rumah yang berharga
miliaran ini . . . betapa busuknya, bau, pengap, sumpek. Padahal inilah modal
yang bisa kujual sekaligus kubanggakan. Betapa kerennya konsep ini nanti:
Elektra, si gadis sebatangkara, mandiri dan tabah mengarungi hidup, tinggal di
rumah besar dan cantik berlokasi strategis.
(Supernova
3 Petir 2010: 38)
Kutipan
di atas menunjukkan saat Elektra mulai berpikir akan usaha apa yang hendak ia
lakukan dalam mengarungi hidupnya yang sendiri. Dalam kehidupannya yang
sebatang kara ia tetap bersemangat. Ia melantunkan kata-kata yang dapat
membuatnya bersemangat sendiri. Ia juga tetap bisa berbangga hati meskipun
hidup dalam serba kekurangan.
Seluruh
kemampuanku rasa-rasanya sudah habis tergali. Tapi aku belum putus asa. Selagi
Watti sibuk dengan kegilaannya akan Tembagapura, aku harus menjajaki
kemungkinan teori genetika dagang tadi. Siapa tahu? Cina asli atau Cina palsu,
yang jelas Elektra tidak mudah menyerah.
(Supernova
3 Petir 2010: 42)
Kutipan
di atas menunjukkan bahwa Elektra seorang wanita yang tidak mudah putus asa.
Dia tidak mudah menyerah menghadapi masalah ekonomi yang ia hadapi setelah
ayahnya meninggal dunia. Elektra pun mencoba kemungkinan yang mungkin bisa ia
lakukan yakni berdagang.
Oke,
aku jujur: aku putus asa. Naun ada satu prinsip yang kupegang teguh sampai
kapanpun, dalilku tertinggi. Elektra’s
golden rules: EBOTANG. Enggak Boleh Ngutang.
(Supernova
3 Petir 2010: 45)
Dalam
menghadapi kesulitan hidupnya tapi Elektra tetap menjaga prinsipnya. Ia
berprinsip tidak boleh hutang pada siapapun. Hutang merupakan hal yang
dilakukan oleh orang yang telah kehabisan usaha untuk menangani masalahnya.
Dalam hal ini ditunjukkan bahwa Elekra adalah wanita yang kuat dan berpendirian
teguh pada prinsip yang talah ia buat sendiri.
Selama
ini aku bertahan hidup dari hasil tabunganku sendiri. Tapi gara-gara
mempercantik rumah, dengan cepat uangku menipis.
(Supernova
3 Petir 2010: 49)
Dari
kutipan di atas terlihat bahwa Elektra merupakan wanita yang rajin menabung.
Pada dasarnya wanita yang baik dapat mengalokasikan uangnya dengan baik. Wanita
dapat menghemat uangnya lebih baik daripada laki-laki. Hal tersebut merupakan
salah satu kelebihan dari wanita.
Elektra,
Upik Abu miskin yang terpenjara dalam kastil besar dengan stok telur yang
semakin menipis. Puncaknya, aku menangis. Sudah lama sekali tidak. Padahal aku
sering menyadari betapa mengibakannya nasibku, …
(Supernova
3 Petir 2010: 67)
Sekuat-kuatnya
wanita, wanitapun tetap juga bisa menangis. Saat dalam keadaan yang sangat
buruk pun Elektra menangis walaupun sebenarnya ia merupakan wanita yang kuat
dan tidak pernah menangis. Tapi pada saat menghadapi masalah yang terlalu berat
ia tak kuasa menahan tangisnya.
Edun, berani
pisan malam-malam! Sendirian lagi.
Ngetes jimat? Ia tertawa. Yuk, saya antar!
(Supernova
3 Petir 2010: 82)
Sebagai
wanita, Elektra termasuk wanita yang berani karena dia berani keluar malam
untuk ke kuburan sendirian. Hal tersebut ia lakukan dalam keadaan yang sangat
terjepit. Dalam keadaan itu adrenalinnya pun ikut bertindak sehingga ia berani.
Dua
hari kemudian aku suda bisa scan fotoku sendiri, pergi ke meja printer dengan
percaya diri tanpa perlu bantuan Betsye ataupun asistennya, Kewoy. Bahkan
mereka berdua mengakui kemajuan pesatku.
(Supernova
3 Petir 2010: 105)
Elektra
merupakan wanita yang pintar dan mudah menyesuaikan diri terhadap teknologi
yang baru. Ia mudah belajar dan mudah menerima apa yang diajarkan temannya. Meskipun
ia cenderung ketinggalan namun ia tetap mengejar ketertinggalannya dengan
belajar sungguh-sungguh dan akhirnya memperoleh perkembangan yang pesat.
Malam
itu kukitari rumah berkali-kali. Bayangan demi bayangan melekat di benak.
Semakin lama semakin jelas. Komputer-komputer . . . suara-suara . . . seolah
bisa kuraba dan kudengar saat itu juga. Semua itu menghasilkan---uang?
(Supernova
3 Petir 2010: 121)
Dari
kutipan di atas dapat dilihat bahwa Elektra memiliki alur pemikiran yang baik
karena ia dapat membayangkan usaha yang akan ia lakukan. Pemikiran ini
merupakan pemikiran yang kreatif yang dapat menghasilkan inovasi baru dalam
hidupnya.
Warnet
memang bukan bisnis yang cepat mengembalikan investasi, tapi cukup buat makan
sehari-hari. Bagiku, itu seperti kembali menabung dalam celengan ayam. Bukankah
persistensiku sudah teruji? Empat tabungan kanak-kanak terbukti berhasil
menghidupi seorang Elektra. Kini aku memulai tabungan orang gede, dengan warnet
sebagai celengan pertama.
(Supernova
3 Petir 2010: 123)
Setelah
Elektra memikirkan usaha yang akan ia lakukan, ternyata warnetlah yang menjadi
pilihan usaha pertamanya. Elektra akan melakukan usaha tersebut dengan
sungguh-sungguh dengan menganggap bahwa bisnisnya merupakan tabungan untuk masa
depannya seperti yang digambarkan dengan kutipan di atas.
Kewoy
pun bersuara: Dipikirkan saja dulu, Tra.
Aku
menatap Mpret sekali lagi. Menantang matanya. Kami sudah saling membuai lewat
insting maing-masing, selebihnya . . . reaksi kimia. Ada sesuatu di mata bulat
itu. Rasa percaya.
Aku
mengulurkan tanganku. Anggap ini MoU,
ujarku pendek.
(Supernova
3 Petir 2010: 128)
Dalam
bisnis Elektra menunjukkan ketegasannya dalam mengambil keputusan yang akan ia
lakukan. Ia memutuskan bisnisnya sesuai dengan instingnya tanpa ragu. Keyakinan
itulah yang menjadikannya seorang entrepreneur
yang hebat kelak di kemudian hari.
Seminggu
pertama, ada saat-saat aku ingin meledakkan tangis. Antara bahagia dan ingin
gila. Belum pernah aku melihat orang sebanyak itu lalu lalang di rumah.
Mentalku dipacu untuk beradaptasi dengan cepat.
(Supernova
3 Petir 2010: 136)
Usaha
yang dilakukan Elektra dengan mendirikan warnet terbukti berkembang pesat.
Banyak sekali pengunjung yang datang. Hal tersebut membuktikan bahwa wanita
juga dapat melakukan usaha seperti bisnis pada bidang tertentu.
Kewoy
menyerahkan lehernya pada TOGE. Tak cuma dapat gaji, ia juga menikmati profit sharing. Singkatnya, masa depan
yang lebih baik. Cukup fair kan? Dan
untuk sikap Betsye aku hanya bisa mengangkat bahu, dan berkata: business is business.
(Supernova
3 Petir 2010: 139)
Kewoy
merupakan teman Elektra yang menjabat sebagai manajer dalam usahanya. Ia
memilih bekerja bersama Elektra karena hasil yang didapatkannya lebih banyak
dari pada di tempat lain. Hal tersebut menunjukkan kemahiran wanita dalam
mengelola bisnis yang ia lakukan.
Berawal
dari kata kunci Elektra Pop, efek bola salju itu dimulai: ‘oh, Elektra pop?
tempat gaul banget, tuh’ – ‘padaal saya langganan nginternet di situ, nggak
tahunya yang punya masih saudara jauh’ – ‘teman-teman sekolahku juga pada main
CS di sana’ – ‘saya ikut jual tas di distronya lho’ – ‘kan di sana ada tempat
pengobatan listrik itu!’ – ‘hal itu kamu?’ – ‘pantas kok kayak sudah pernah
ketemu! saya suka mengantar teman kantor berobat ke sana’ – ‘kok bisa, sih?
memang bakat? Dan seterusnya.
(Supernova
3 Petir 2010: 199)
Setelah bisnis
yang dilakukan Elektra maju, namanya terkenal dimana-mana. Bisnis warnet,
distro, dan PSnya pun semakin dikenal banyak orang. Kemudian kelebihan Elektra
yang dapat melakukan terapi listrik menambah usahanya semakin maju.
Dari uraian di
atas dapat dilihat bahwa sosok Elektra menggambarkan wanita yang kuat dalam
mengarungi hidupnya meski hanya sebatang kara. Selain itu Elektra juga
merupakan wanita yang semangat untuk belajar. Ia juga merupakan wanita yang
pintar karena dapat memahami setiap perkembangan ilmu pengetahuan dengan cepat.
Dalam
perjalannya Elektra juga pernah mengalami kegagalan atau keterpurukan yang
membuat ia menangis. Namun Elektra merupakan wanita yang tidak mudah putus asa.
Ia tetap berusaha hingga dapat mendirikan sebuah warnet sebagai bisnisnya. Setelah
ia mencoba melakukan bisnisnya ternyata hasilnya sangat bagus. Bisnisnya
berjalan lancar.
PENUTUP
Dalam
novel Supernova 3 Petir menceritakan perjuangan wanita yang menempuh hidupnya
sebatang kara karena ayahnya meninggal dunia. Dalam novel tersebut diceritakan
bagaimana perjuangan wanita untuk menyelesaikan masalahnya. Wanita memang tidak
bisa terlepas dengan tangisan namun wanita juga merupakan makhluk yang tidak
mudah untuk putus asa.
Dalam
novel tersebut diceritakan bahwa wanita dapat pula berkarir dalam dunia bisnis.
Bahkan bisnis yang dilakukan wanita dapat berjalan lancar seperti bisnis yang
dilakukan oleh laki-laki. Hal tersebutlah yang merupakan unsur feminis dari
novel Supernova 3 Petir.
DAFTAR PUSTAKA
Endaswara,
Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian
Sastra. Yogyakarta: CAPS (Center for
Academic Publising Service)
Nurhayati. 2012.
Pengantar Ringkas Teori Sastra. Yogyakarta:
Media Perkasa
No comments:
Post a Comment
“Terima kasih sudah membaca blog saya, silahkan tinggalkan komentar”