Wednesday, 25 November 2015

ARTIKEL FEMINISME DAN PENERAPANNYA DALAM ANALISIS PROSA


Konsep Feminisme dan Penerapannya dalam Analisis Prosa

Pendahuluan
Dalam kenyataan kehidupan ini, dulu wanita sering di pandang sebelah mata oleh berbagai pihak. Wanita hanya dipandang sebagai pelengkap dalam rumah tangga dan kemampuannya dalam berkarir seringkali diragukan. Hal tersebut menunjukkan bahwa wanita seolah-olah didiskriminasikan dalam kehidupan. Timbulnya anggapan-anggapan yang kurang baik terhadap wanita menyebabkan banyak kaum pembela wanita melakukan perlawanan untuk menuntut kesetaraan. Dalam dunia sastra pun keberadaan wanita sering diragukan. Karya wanita dianggap tidak sepadan dengan karya laki-laki. Kesenjangan antara wanita dan laki-laki semakin tampak. Oleh karena itu timbullah suatu paham yang membela wanita yang sering disebut feminisme.

Konsep Feminisme
Jika ada penelitian kritis terhadap feminisme, ternyata lebih banyak memberikan sorotan yang memuja-muja. Hal ini, dimungkinkan untuk mengambil hati sastrawan perempuan, agar mereka tidak putus asa berkarya. Buktinya, sorotan kritis terhadap novel Saman karya Ayu Utami dan Supernova karya Dee (Dewi Lestari) telah menjadikan karya tersebut hebat. Hal ini memang harus di sadari, karena sejak awalnya para pengkaji sastra lebih banyak dilakukan oleh pria. Wanita seakan-akan tenggelam dalam kegiatan non sastra. Itulah sebabnya, hampir semua kanon sastra di semua negara selalu didominasi oleh penelitian pria yang memandang sebelah mata kepada kaum hawa. Bahkan Kolodny (Djajanegara, 200: 19) juga mengakui hal tersebut, karena sebagian besar karya sastra adalah produk pria, sehingga selalu menampilkan stereotipe wanita sebagai ibu, yang bersifat manja, pelacur dan sebagainya.
Dasar pemikiran dalam penelitian sastra berperspektif feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra. Peran dan kedudukan perempuan tersebut akan menjadi sentral pembahasan penelitian sastra. Peneliti akan memperhatikan dominasi laki-laki atau gerakan perempuan.
Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan feminisme, hal yang difokuskan antara lain seperti kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam sastra, ketertinggalan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan dan aktifitas kemayarakatan, memperhatikan faktor pembaca sastra, khususnya bagaimana tanggapan pembaca terhadap emansipasi wanita dalam sastra. Jika peneliti mampu mengungkap ketiga fokus tersebut, setidaknya akan terbaca pula tujuan penelitian feminis sastra yang dikemukakan  Kuiper (Sugihastuti dan Suharto, 2002: 68), yaitu: (a) untuk mengkritik kanon karya sastra dan untuk menyoroti hal-hal yang bersifat standar yang didasarkan pada patriarkhal; (b) untuk menampilkan teks-teks yang diremehkan yang dibuat perempuan; (c) untuk mengokohkan gynocritic, yaitu studi teks-teks yang dipusatkan pada perempuan, dan untuk mengokohkan kanon perempuan; (d) untuk mengeksplorasi konstruksi kultural dari gender dan identitas.
Beberapa sasaran tersebut akan tercapai dengan sukses apabila peneliti feminisme sastra memanfaatkan kajian kualitatif. Data-data yang diambil berupa data deskriptif kualitatif, misalkan tentang deskripsi status dan peran perempuan dalam keluarga, masyarakat, dan lingkungan pekerjaan. Data-data ini harus dibahas secara proporsional, artinya dari sudut pandang laki-laki melihat perempuan, melainkan menggunakan sudut pandang perempuan.
Sasaran penting dalam analisis feminisme sastra sedapat mungkin berhubungan dengan hal-hal seperti pertama, mengungkap karya-karya penulis wanita masa lalu dan masa kini agar jelas citra wanita yang merasa ditekan oleh tradisi. Dominasi buidaya patriarkhal haruis terungkap secara jelas dalam analisis. Kedua, mengungkap berbagai tekanan pada tokoh wanita dalam karya yang ditulis oleh pengarang pria. Ketiga, mengungkap ideologi pengarang wanita dan pria, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata. Keempat, mengkaji dari aspek ginokritik, yakni memahami bagaimana proses kreatif kaum feminis. Apakah penulis wanita memliki kekhasan dalam gaya dan ekspresi atau tidak. Kelima, mengungkap aspek psikoanalisa feminis, yaitu mengapa wanita, baik tokoh maupun pengarang lebih suka terhadap hal-hal yang halus, emosional, penuh kasih sayang, dan sebagainya.
Dari berbagai sasaran tersebut, seharus sudut pandang yang digunakan adalah peneliti sebagai Reading as woman membaca sebagai wanita. Pendek kata, peneliti dalam memahami karya sastra harus menggunakan kesadaran khusus, yaitu kesadaran bahwa jenis kelamin banyak berhubungan dengan masalah keyakinan, ideologi, dan wawasan hidup. Kesadaran khusus peneliti untuk memahami karya sastra sangat diperlukan. Perbedaan jenis kelamin, akan mempengaruhi pemaknaan cipta sastra.
Sejalan dengan kodratnya, teks sastra yang dilahirkan  pengarang laki-laki dan wanita memang sering berbeda keduanya sering kental dalam hal-hal perjuangan terhadap nasib masing-masing. Itulah sebabnya, kondisi ini telah memunculkan paham penelitian sastra yang orientasinya ke arah perjuangan hak. Lebih jauh lagi, kajian sastra serupa juga telah melebar ke arah perbedaan-perbedaan hakiki laki-laki dan perempuan.
Upaya penelitian demikian lalu memunculkan teori pengkajian feminisme sastra. Dari sini pengakajian sastra feminis dapat ke arah dua sasaran, yaitu: (1) bagaimana pandangan laki-laki terhadap wanita dan (2) bagaimana sikap wanita dalam membatasi dirinya. Keduanya akan berpusar lebar ke dalam teks sastra yang jalin-menjalin dengan budaya masing-masing wilayah. Jadi walaupun banyak kajian yang mengungkapkan feminisme, tapi wanita juga harus tetap tahu batasan-batasan kedudukannya. Artinya wanita tidak melampaui pria dan tetap dalam batasan budaya-budaya di daerah mereka.
Jabaran dua sastra itu, menurut Selden (Pradopo, 1991:137) dapat digolongkan menjadi lima fokus: (1) biologi, yang sering menempatkan perempuan lebih inferior, lembut, lemah, dan rendah.  (2) pengalaman, sering kali wanita dipandang hanya memiliki pengalaman terbatas, masalah menstruasi, melahirkan, menyusui, dan seterusnya. (3) wacana, biasanya wanita lebih rendah penguasaan bahasa, sedangkan laki-laki memiliki ”tuntutan kuat”. Akibat dari semua ini, akan menimbulkan stereotip yang negatif pada diri wanita, wanita sekerdar kanca wingking (4) proses ketidaksadaran, secara diam-diam penulis feminis telah meruntuhkan otoritas laki-laki. Seksualitas wanita bersifat revolusioner, subvertif, beragam, dan terbuka. Namun demikian, hal ini masih kurang disadari oleh laki-laki (5) pengarang feminis biasanya sering menghadirkan tuntutan sosial dan ekonomi yang berbeda dengan laki-laki. Dari berbagai fokus tersebut, peneliti sastra yang berhaluan feminis dapat memusat pada beberapa pilihan saja agar lebih mendalam.
Pendekatan Feminisme dalam Analisis Prosa
Analisis dalam kajian feminisme hendaknya mampu mengungkap aspek-aspek ketertindasan wanita atas diri pria. Mengapa wanita secara politis terkena dampak patriarki, sehingga meletakkan wanita pada posisi inferior. Stereotip bahwa wanita hanyalah pendamping laki-laki, akan menjadi tumpuan kajian feminisme. Dengan adanya perilaku politis tersebut, apakah wanita menerima secara sadar ataukah justru marah menghadapi ketidakadilan gender. Jika dianggap perlu, analisis peneliti harus sampai pada radikalisme perempuan dalam memperjuangkan persamaan hak.
Dominasi laki-laki terhadap perempuan, telah mempengaruhi kondisi sastra, antara lain: (1) nilai dan konvensi sastra sering didominasi oleh kekuasaan laki-laki, sehingga wanita selalu berada pada posisi berjuang terus-menerus ke arah kesetaraan gender; (2) penulis laki-laki sering berat sebelah, sehingga menganggap wanita adalah objek fantastis yang menarik. Wanita selalu dijadikan objek kesenangan sepintas oleh laki-laki. Karya-karya demikian selalu memihak, bahwa wanita sekadar orang yang berguna untuk melampiaskan nafsu semata; (3) wanita adalah figur yang menjadi bunga-bunga sastra, sehingga sering terjadi tindak asusila laki-laki, pemerkosaan, dan sejenisnya yang seakan-akan memojokkan wanita pada posisi lemah (tak berdaya).
Dengan kata lain, memang ada perbedaan visi penulis laki-laki dan wanita. Kedua kubu tersebut sering memiliki daya kontra satu sama lain yang tak ada ujung pangkalnya. Bahkan kedua belah pihak sering mengungkapkan adanya sikap saling menyalahkan akibat perbedaan gender.  Itulah sebabnya, analisis feminisme seyogyanya mengikuti pandangan Barret (Pradopo, 1991: 142) yakni: 1) peneliti hendaknya mampu membedakan material sastra yang digarap penulis laki-laki dan wanita, keinginan laki-laki dan wanita, dal hal-hal apa saja yang menarik laki-laki dan wanita; 2) ideologi sering mempengaruhi hasil karya penulis. Ideologi dan keyakinan laki-laki dengan wanita tentu saja ada perbedaan yang prinsipil; 3) seberapa jauh kodrat fiksional teks-teks sastra yang dihasilkan pengarang mampu melukiskan keadaan budaya mereka. Perbedaan gender sering mempengaruhi adat dan budaya terungkap. Tradisi laki-laki dan perempuan dengan sendirinya memiliki perbedaan yang harus dijelaskan dalam analisis gender.
Secara rinci, menurut Showalter (1988) ada tiga fase tradisi penulisan sastra oleh wanita. Pertama, para penulis wanita, seperti George Eliot sering meniru dan menghayati standar estetika pria yang dominan, yang menghendaki bahwa wanita tetap memiliki posisi terhormat. Latar utama karya mereka adalah lingkungan rumah tangga dan kemasyarakatan. Kedua, penulis wanita yang telah bersikap radikal. Pada saat ini wanita berhak memilih cara mana yang tepat untuk berekspresi. Begitu pula tema-tema garap juga semakin kompleks. Ketiga, hasil tulisan wanita di samping mengikuti pola terdahulu, juga semakin sadar diri. Karya-karya yang melukiskan hal-hal yang lebih transparan (bugil), perzinaan, perselingkuhan, dan sejenisnya telah disentuh. Wanita telah sadar bahwa dirinya bukanlah “bidadari rumah”, melainkan harus ada emansipasi.
Showalter juga  menegaskan bahwa dalam analisis feminisme sastra perlu menelusuri lebih jauh tentang: 1) perbedaan hakiki antara bahasa penulis pria dan wanita, perbedaan tersebut akan dipengaruhi oleh konteks budaya yang ditakdirkan berbeda. Apakah wanita lebih banyak menggunakan bahasa estetis yang penuh rasa, penuh daya mistik, berbau kuno, dan seterusnya. Sebaliknya, mungkin laki-laki lebih terbuka dalam menyoroti hal-hal seks, tanpa ragu-ragu melukiskan payudara, phalus, dan sebagainya, perlu menjadi perhatian peneliti; 2) seberapa jauh pengaruh budaya yang melakati pada wanita dan laki-laki dalam sebuah cipta sastra. Apakah laki-laki cenderung ingin mempertahankan budaya yang menghegemoni wanita, dan sebaliknya wanita hanya bersikap pasrah, adlah gambaran yang sangat berarti dalam analisis feminisme.
Menurut Yoder (Sugihastuti, 2002: 139) feminisme diibaratkan sebuah quilt yang dibangun dan dibentuk dari potongan-potongan kain lembut. Metafora ini mengandaikan bahwa feminisme merupakan  kajian yang mengakar kuat pada pendirian membaca sastra sebagai wanita. Paham feminisme ini memang menyangkut soal politik, maksudnya sebuah politik yang langsung mengubah hubungan kekuatan kehidupan antara wanita dan pria dalam sistem komunikasi sastra. Dari pandangan ini, peneliti feminisme sastra akan berusaha mengungkap seberapa jauh kekuatan politik mengubah hirarkhi pria dan wanita.
Karya sastra yang bernuansa feminis, dengan sendirinya akan bergerak pada sebuah emansipasi. Kegiatan akhir dari sebuah perjuangan feminis adalah persamaan derajat, yang hendak mendudukkan wanita tak sebagai objek. Itulah sebabnya, kajian feminisme sastra tetap memperhatikan masalah gender. Yakni, tidak saja terus-menerus membicarakan citra wanita, tetapi juga seberapa kemampuan pria dalam mengahadapi serangan gender tersebut.
Dalam hal menganalisis suatu karya prosa menggunakan pendekatan feminisme, peneliti hendaknya memilih karya prosa yang dapat dianalisis menggunakan pendekatan tersebut. Setiap karya prosa tidak selalu bisa dianalisis menggunakan pendekatan feminisme. Karya sastra yang dapat dianalisis dengan pendekatan ini tentunya hanya teks-teks yang memiliki hubungan dengan segala sesuatu tentang wanita. Karya yang tidak membahas sedikitpun tentang wanita tidak akan bisa dianalisis menggunakan pendekatan ini.

Referensi:
Endaswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publising Service)

No comments:

Post a Comment

“Terima kasih sudah membaca blog saya, silahkan tinggalkan komentar”