Konsep
Feminisme dan Penerapannya dalam Analisis Prosa
Pendahuluan
Dalam
kenyataan kehidupan ini, dulu wanita sering di pandang sebelah mata oleh
berbagai pihak. Wanita hanya dipandang sebagai pelengkap dalam rumah tangga dan
kemampuannya dalam berkarir seringkali diragukan. Hal tersebut menunjukkan
bahwa wanita seolah-olah didiskriminasikan dalam kehidupan. Timbulnya
anggapan-anggapan yang kurang baik terhadap wanita menyebabkan banyak kaum
pembela wanita melakukan perlawanan untuk menuntut kesetaraan. Dalam dunia
sastra pun keberadaan wanita sering diragukan. Karya wanita dianggap tidak
sepadan dengan karya laki-laki. Kesenjangan antara wanita dan laki-laki semakin
tampak. Oleh karena itu timbullah suatu paham yang membela wanita yang sering
disebut feminisme.
Konsep
Feminisme
Jika
ada penelitian kritis terhadap feminisme, ternyata lebih banyak memberikan
sorotan yang memuja-muja. Hal ini, dimungkinkan untuk mengambil hati sastrawan
perempuan, agar mereka tidak putus asa berkarya. Buktinya, sorotan kritis
terhadap novel Saman karya Ayu Utami
dan Supernova karya Dee (Dewi
Lestari) telah menjadikan karya tersebut hebat. Hal ini memang harus di sadari,
karena sejak awalnya para pengkaji sastra lebih banyak dilakukan oleh pria.
Wanita seakan-akan tenggelam dalam kegiatan non sastra. Itulah sebabnya, hampir
semua kanon sastra di semua negara selalu didominasi oleh penelitian pria yang
memandang sebelah mata kepada kaum hawa. Bahkan Kolodny (Djajanegara, 200: 19)
juga mengakui hal tersebut, karena sebagian besar karya sastra adalah produk
pria, sehingga selalu menampilkan stereotipe wanita sebagai ibu, yang bersifat
manja, pelacur dan sebagainya.
Dasar
pemikiran dalam penelitian sastra berperspektif feminis adalah upaya pemahaman
kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra. Peran dan
kedudukan perempuan tersebut akan menjadi sentral pembahasan penelitian sastra.
Peneliti akan memperhatikan dominasi laki-laki atau gerakan perempuan.
Dalam
penelitian yang menggunakan pendekatan feminisme, hal yang difokuskan antara
lain seperti kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam sastra, ketertinggalan
kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan dan aktifitas
kemayarakatan, memperhatikan faktor pembaca sastra, khususnya bagaimana tanggapan
pembaca terhadap emansipasi wanita dalam sastra. Jika peneliti mampu mengungkap
ketiga fokus tersebut, setidaknya akan terbaca pula tujuan penelitian feminis
sastra yang dikemukakan Kuiper
(Sugihastuti dan Suharto, 2002: 68), yaitu: (a) untuk mengkritik kanon karya
sastra dan untuk menyoroti hal-hal yang bersifat standar yang didasarkan pada
patriarkhal; (b) untuk menampilkan teks-teks yang diremehkan yang dibuat
perempuan; (c) untuk mengokohkan gynocritic,
yaitu studi teks-teks yang dipusatkan pada perempuan, dan untuk mengokohkan
kanon perempuan; (d) untuk mengeksplorasi konstruksi kultural dari gender dan
identitas.
Beberapa
sasaran tersebut akan tercapai dengan sukses apabila peneliti feminisme sastra
memanfaatkan kajian kualitatif. Data-data yang diambil berupa data deskriptif
kualitatif, misalkan tentang deskripsi status dan peran perempuan dalam
keluarga, masyarakat, dan lingkungan pekerjaan. Data-data ini harus dibahas
secara proporsional, artinya dari sudut pandang laki-laki melihat perempuan,
melainkan menggunakan sudut pandang perempuan.
Sasaran
penting dalam analisis feminisme sastra sedapat mungkin berhubungan dengan hal-hal
seperti pertama, mengungkap
karya-karya penulis wanita masa lalu dan masa kini agar jelas citra wanita yang
merasa ditekan oleh tradisi. Dominasi buidaya patriarkhal haruis terungkap
secara jelas dalam analisis. Kedua, mengungkap
berbagai tekanan pada tokoh wanita dalam karya yang ditulis oleh pengarang
pria. Ketiga, mengungkap ideologi
pengarang wanita dan pria, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam
kehidupan nyata. Keempat, mengkaji
dari aspek ginokritik, yakni memahami bagaimana proses kreatif kaum feminis.
Apakah penulis wanita memliki kekhasan dalam gaya dan ekspresi atau tidak. Kelima, mengungkap aspek psikoanalisa
feminis, yaitu mengapa wanita, baik tokoh maupun pengarang lebih suka terhadap
hal-hal yang halus, emosional, penuh kasih sayang, dan sebagainya.
Dari berbagai sasaran tersebut, seharus sudut
pandang yang digunakan adalah peneliti sebagai Reading as woman membaca sebagai wanita. Pendek kata, peneliti
dalam memahami karya sastra harus menggunakan kesadaran khusus, yaitu kesadaran
bahwa jenis kelamin banyak berhubungan dengan masalah keyakinan, ideologi, dan
wawasan hidup. Kesadaran khusus peneliti untuk memahami karya sastra sangat
diperlukan. Perbedaan jenis kelamin, akan mempengaruhi pemaknaan cipta sastra.
Sejalan dengan kodratnya, teks sastra yang
dilahirkan pengarang laki-laki dan
wanita memang sering berbeda keduanya sering kental dalam hal-hal perjuangan
terhadap nasib masing-masing. Itulah sebabnya, kondisi ini telah memunculkan
paham penelitian sastra yang orientasinya ke arah perjuangan hak. Lebih jauh
lagi, kajian sastra serupa juga telah melebar ke arah perbedaan-perbedaan hakiki
laki-laki dan perempuan.
Upaya penelitian demikian lalu memunculkan teori
pengkajian feminisme sastra. Dari sini pengakajian sastra feminis dapat ke arah
dua sasaran, yaitu: (1) bagaimana pandangan laki-laki terhadap wanita dan (2)
bagaimana sikap wanita dalam membatasi dirinya. Keduanya akan berpusar lebar ke
dalam teks sastra yang jalin-menjalin dengan budaya masing-masing wilayah. Jadi
walaupun banyak kajian yang mengungkapkan feminisme, tapi wanita juga harus
tetap tahu batasan-batasan kedudukannya. Artinya wanita tidak melampaui pria
dan tetap dalam batasan budaya-budaya di daerah mereka.
Jabaran dua sastra itu, menurut Selden (Pradopo,
1991:137) dapat digolongkan menjadi lima fokus: (1) biologi, yang sering
menempatkan perempuan lebih inferior, lembut, lemah, dan rendah. (2) pengalaman, sering kali wanita dipandang
hanya memiliki pengalaman terbatas, masalah menstruasi, melahirkan, menyusui,
dan seterusnya. (3) wacana, biasanya wanita lebih rendah penguasaan bahasa, sedangkan
laki-laki memiliki ”tuntutan kuat”. Akibat dari semua ini, akan menimbulkan
stereotip yang negatif pada diri wanita, wanita sekerdar kanca wingking (4) proses ketidaksadaran, secara diam-diam penulis
feminis telah meruntuhkan otoritas laki-laki. Seksualitas wanita bersifat revolusioner,
subvertif, beragam, dan terbuka. Namun demikian, hal ini masih kurang disadari
oleh laki-laki (5) pengarang feminis biasanya sering menghadirkan tuntutan
sosial dan ekonomi yang berbeda dengan laki-laki. Dari berbagai fokus tersebut,
peneliti sastra yang berhaluan feminis dapat memusat pada beberapa pilihan saja
agar lebih mendalam.
Pendekatan
Feminisme dalam Analisis Prosa
Analisis dalam kajian feminisme hendaknya mampu
mengungkap aspek-aspek ketertindasan wanita atas diri pria. Mengapa wanita secara
politis terkena dampak patriarki, sehingga meletakkan wanita pada posisi
inferior. Stereotip bahwa wanita hanyalah pendamping laki-laki, akan menjadi
tumpuan kajian feminisme. Dengan adanya perilaku politis tersebut, apakah
wanita menerima secara sadar ataukah justru marah menghadapi ketidakadilan
gender. Jika dianggap perlu, analisis peneliti harus sampai pada radikalisme
perempuan dalam memperjuangkan persamaan hak.
Dominasi laki-laki terhadap perempuan, telah
mempengaruhi kondisi sastra, antara lain: (1) nilai dan konvensi sastra sering
didominasi oleh kekuasaan laki-laki, sehingga wanita selalu berada pada posisi berjuang
terus-menerus ke arah kesetaraan gender; (2) penulis laki-laki sering berat
sebelah, sehingga menganggap wanita adalah objek fantastis yang menarik. Wanita
selalu dijadikan objek kesenangan sepintas oleh laki-laki. Karya-karya demikian
selalu memihak, bahwa wanita sekadar orang yang berguna untuk melampiaskan
nafsu semata; (3) wanita adalah figur yang menjadi bunga-bunga sastra, sehingga
sering terjadi tindak asusila laki-laki, pemerkosaan, dan sejenisnya yang
seakan-akan memojokkan wanita pada posisi lemah (tak berdaya).
Dengan kata lain, memang ada perbedaan visi penulis
laki-laki dan wanita. Kedua kubu tersebut sering memiliki daya kontra satu sama
lain yang tak ada ujung pangkalnya. Bahkan kedua belah pihak sering mengungkapkan
adanya sikap saling menyalahkan akibat perbedaan gender. Itulah sebabnya, analisis feminisme
seyogyanya mengikuti pandangan Barret (Pradopo, 1991: 142) yakni: 1) peneliti
hendaknya mampu membedakan material sastra yang digarap penulis laki-laki dan
wanita, keinginan laki-laki dan wanita, dal hal-hal apa saja yang menarik
laki-laki dan wanita; 2) ideologi sering mempengaruhi hasil karya penulis.
Ideologi dan keyakinan laki-laki dengan wanita tentu saja ada perbedaan yang
prinsipil; 3) seberapa jauh kodrat fiksional teks-teks sastra yang dihasilkan
pengarang mampu melukiskan keadaan budaya mereka. Perbedaan gender sering
mempengaruhi adat dan budaya terungkap. Tradisi laki-laki dan perempuan dengan
sendirinya memiliki perbedaan yang harus dijelaskan dalam analisis gender.
Secara rinci, menurut Showalter (1988) ada tiga fase
tradisi penulisan sastra oleh wanita. Pertama, para penulis wanita, seperti
George Eliot sering meniru dan menghayati standar estetika pria yang dominan,
yang menghendaki bahwa wanita tetap memiliki posisi terhormat. Latar utama
karya mereka adalah lingkungan rumah tangga dan kemasyarakatan. Kedua, penulis
wanita yang telah bersikap radikal. Pada saat ini wanita berhak memilih cara
mana yang tepat untuk berekspresi. Begitu pula tema-tema garap juga semakin
kompleks. Ketiga, hasil tulisan wanita di samping mengikuti pola terdahulu, juga
semakin sadar diri. Karya-karya yang melukiskan hal-hal yang lebih transparan
(bugil), perzinaan, perselingkuhan, dan sejenisnya telah disentuh. Wanita telah
sadar bahwa dirinya bukanlah “bidadari rumah”, melainkan harus ada emansipasi.
Showalter juga menegaskan bahwa dalam analisis feminisme
sastra perlu menelusuri lebih jauh tentang: 1) perbedaan hakiki antara bahasa
penulis pria dan wanita, perbedaan tersebut akan dipengaruhi oleh konteks
budaya yang ditakdirkan berbeda. Apakah wanita lebih banyak menggunakan bahasa
estetis yang penuh rasa, penuh daya mistik, berbau kuno, dan seterusnya.
Sebaliknya, mungkin laki-laki lebih terbuka dalam menyoroti hal-hal seks, tanpa
ragu-ragu melukiskan payudara, phalus, dan sebagainya, perlu menjadi perhatian peneliti;
2) seberapa jauh pengaruh budaya yang melakati pada wanita dan laki-laki dalam
sebuah cipta sastra. Apakah laki-laki cenderung ingin mempertahankan budaya
yang menghegemoni wanita, dan sebaliknya wanita hanya bersikap pasrah, adlah
gambaran yang sangat berarti dalam analisis feminisme.
Menurut Yoder (Sugihastuti, 2002: 139) feminisme
diibaratkan sebuah quilt yang
dibangun dan dibentuk dari potongan-potongan kain lembut. Metafora ini
mengandaikan bahwa feminisme merupakan kajian
yang mengakar kuat pada pendirian membaca sastra sebagai wanita. Paham
feminisme ini memang menyangkut soal politik, maksudnya sebuah politik yang
langsung mengubah hubungan kekuatan kehidupan antara wanita dan pria dalam
sistem komunikasi sastra. Dari pandangan ini, peneliti feminisme sastra akan
berusaha mengungkap seberapa jauh kekuatan politik mengubah hirarkhi pria dan
wanita.
Karya sastra yang bernuansa feminis, dengan
sendirinya akan bergerak pada sebuah emansipasi. Kegiatan akhir dari sebuah perjuangan
feminis adalah persamaan derajat, yang hendak mendudukkan wanita tak sebagai
objek. Itulah sebabnya, kajian feminisme sastra tetap memperhatikan masalah
gender. Yakni, tidak saja terus-menerus membicarakan citra wanita, tetapi juga
seberapa kemampuan pria dalam mengahadapi serangan gender tersebut.
Dalam hal menganalisis suatu karya prosa menggunakan
pendekatan feminisme, peneliti hendaknya memilih karya prosa yang dapat
dianalisis menggunakan pendekatan tersebut. Setiap karya prosa tidak selalu
bisa dianalisis menggunakan pendekatan feminisme. Karya sastra yang dapat
dianalisis dengan pendekatan ini tentunya hanya teks-teks yang memiliki
hubungan dengan segala sesuatu tentang wanita. Karya yang tidak membahas
sedikitpun tentang wanita tidak akan bisa dianalisis menggunakan pendekatan
ini.
Referensi:
Endaswara,
Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian
Sastra. Yogyakarta: CAPS (Center for
Academic Publising Service)
No comments:
Post a Comment
“Terima kasih sudah membaca blog saya, silahkan tinggalkan komentar”