Wednesday, 25 November 2015

ANALISIS STRUKTURAL ROBERT STANTON PADA CERPEN MATA YANG ENAK DIPANDANG KARYA AHMAD TOHARI


ANALISIS STRUKTURAL ROBERT STANTON PADA CERPEN MATA YANG ENAK DIPANDANG KARYA AHMAD TOHARI
Kartikasari F.
Setiap karya sastra yang berhasil merupakan individu yang unik karena sebenarnya tidak ada seorang pun yang dapat ‘menguraikan’ sebuah organisme secara menyeluruh. Meskipun demikian, sebagaimana yang dialami oleh filsafat, biologi, dan kedokteran, semuanya harus diawali dari prinsip-prinsip umum. Pembaca perlu mewaspadai adanya modifikasi-modifikasi atau kontradiksi-kontradiksi yang terjadi pada sebuah cerita meski dia mengawalinya dari suatu generalisasi. Konsep-konsep seperti tema, simbolisme, konflik dan sebagainya dapat membantu pembaca memahami sebuah cerita. Satu yang tidak dapat dilakukan adalah merekayasa cerita agar cocok dengan konsep-konsep tertentu.

Singkat kata, tidak ada satu pun konsep atau prinsip kesastraan yang dapat menggantikan peran membaca (terutama yang penuh dengan penghayatan). Kejelian dibutuhkan untuk membaca suatu karya sastra. Jika membaca suatu karya sastra secara cepat dan singkat, pemahaman keseluruhan yang diperoleh dari suatu cerita akan bersifat prematur. Seorang pengarang fiksi serius yang bagus adalah pribadi yang cerdas, peka, dan ahli dalam menjalankan profesinya yang sulit. Karya-karyanya selalu membutuhkan dan menghendaki perlakuan-perlakuan khusus. Pembacaan sembrono, kesimpulan prematur dan penilaian yang terburu-buru hanya akan menjadikan nilainya berkurang.
Analisis ini akan menggunakan cerpen yang berjudul Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari sebagai objeknya. Dalam analisis ini akan dibahas mengenai tiga bagian utama yakni fakta-fakta cerita, tema, dan sarana-sarana sastra sebagai berikut.
A.     Fakta-fakta Cerita
Karakter, alur dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian yang imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan ‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan faktual’ cerita.
1.      Alur
Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. Peristiwa kausal tidak terbatas pada hal-hal fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi mencakup perubahan sikap karakter, kilasan-kilasan pandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang menjadi variabel pengubah dalam dirinya.
Dua elemen dasar yang membangun alur adalah ‘konflik’ dan ‘klimaks’. Setiap karya sastra fiksi setidak-tidaknya memiliki konflik internal (yang tampak jelas) yang hadir melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat seseorang dengan lingkungannya. Konflik-konflik spesifik ini merupakan subordinasi satu ‘konflik utama’ yang bersifat eksternal, internal atau dua-duanya. Sedangkan klimaks adalah saat ketika konflik sangat intens sehinggan ending tidak dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan (terselesaikan bukan ditentukan). Klimaks utama sulit dikenali karena konflik-konflik subordinat pun memiliki klimaks-klimaks sendiri.
Alur dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari adalah alur maju karena cerita dimulai dari awal cerita, tengah dan akhir. Plot atau alur terebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
a.      Bagian Awal
Pada bagian awal, pengarang menceritakan kegelisahan Mitra yang buta kepanasan. Masalah yang muncul di bagian awal adalah Mitra yang tidak bisa pergi dari tempat panas itu. Konflik yang terjadi pada bagian awal adalah konflik internal atau konflik batin. Konflik itu terjadi pada diri Mitra. Ia merasa sangat tersiksa dan gelisah di tempat yang sangat panas itu. Akan tetapi Mitra mencoba menabahkan dirinya agar tetap bertahan tanpa Tarsa penuntunnya yang jahat. Mitra kemudian mencoba berusaha pergi dari tempat itu. Namun baru saja ia hendak pergi, klakson-klakson kendaraan banyak yang membentaknya. Mitra mengurungkan niatnya dan kembali di tempat semula.
Mitra tidak putus asa dengan keadaannya. Namun dalam hati Mitra merasa sangat gelisah. Ia tidak mau mati kering di tempat itu seperti dendeng. Mitra mencoba berusaha lagi. Mitra mencoba pergi dari tempat itu melewati trotoar. Usaha Mitra masih belum berhasil karena ia menabrak sepeda yang diparkir melintang. Mitra ambruk bersama sepeda itu. Pemilik sepeda datang hanya untuk membenarkan sepedanya dan tidak mempedulikan Mitra yang tak berdaya. Sementara Tarsa tertawa dari seberang jalan.
Akhirnya Tarsa menolong Mitra dan mengajaknya pergi minum es limun. Mitra membelikan es limun pada penuntunnya itu agar mau menuruti perintahnya. Mitra membelikan es limun untuk Tarsa sementara ia hanya minum tiga gelas air putih. Setelah itu, Tarsa kembali bermain dengan yoyonya sementara Mitra terkulai lemas di bawah pohon kerai payung. Konflik yang ada saat itu adalah konflik internal dalam diri Mitra. Mitra tidak dapat pergi kemana-mana tanpa penuntunya tapi ia juga tidak bisa diperas terus-menerus oleh Tarsa. Terjadi konflik batin Mitra untuk menuruti keinginan Tarsa yang memaksa atau memeras itu. Namun akhirnya Mitra menuruti permintaan Tarsa.
b.      Bagian Tengah
Konflik di bagian tengah dimulai saat kereta kelas satu datang. Tarsa mengajak Mitra untuk mengemis di kereta itu. Mitra bangun dari tidurnya atau siuman tapi ia tidak mau mengemis di kereta itu. Mitra sakit, badannya panas dan bibirnya sangat pucat. Tarsa tetap memaksa Mitra untuk mengemis karena dari pagi mereka belum makan dan butuh uang untuk makan. Mitra tetap menolak.
Klimaks dalam cerpen ini dimunculkan pada bagian tengah. Saat Mitra tetap menolak dan Tarsa tidak mau mengalah, terjadilah klimaks di cerpen ini. Mitra dan Tarsa berdebat tentang mengemis. Mitra berpendapat bahwa mata orang yang suka memberi adalah mata-mata yang enak dipandang. Namun Tarsa tidak menerima pendapat Mitra karena ia tahu Mitra buta. Tarsa berpikiran bahwa orang buta tidak mungkin akan dapat melihat mata orang yang enak dipandang. Mitra tidak mau mengalah karena pengalamannya menjadi pengemis sudah banyak dan penuntun-penuntun sebelum Tarsa dapat membawanya ke orang-orang yang matanya enak dipandang.
Menurut Mitra mata orang-orang yang enak dipandang jarang dijumpai di kereta kelas satu. Mata orang yang dermawan atau orang yang suka memberi banyak dijumpai di kereta kelas tiga. Tarsa akhirnya memikirkan pendapat Mitra dan akhirnya ia tahu pendapat Mitra itu benar. Mereka berdua sepakat untuk menunggu kereta kelas tiga dan mengemis di kereta itu.  
c.       Bagian Akhir
Setelah mereka berdua sepakat untuk menunggu kedatangan kereta kelas tiga, Mitra kembali merbahkan tubuhnya. Beberapa saat kemudian kereta kelas tiga datang dan Tarsa mencoba membangunkan Mitra. Akhir cerita dalam cerpen tersebut tidak begitu jelas karena hanya dijelaskan Mitra  tidak menjawab panggilan Tarsa dan saat Tarsa menggoyangkan tubuh Mitra, masih tetap hening. Akhir cerita ini digantung oleh pengarang. Pengarang ingin membuat pembaca menebak-nebak apa yang seharusnya terjadi. Pembaca akan bertanya-tanya tentang akhir yang sebenarnya. Apakah Mitra pingsan atau malah mati?

2.      Karakter
Terma karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter menunjuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua karakter merujuk pada pencampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut yang tampak implisit. Berikut akan dijelaskan karakter-karakter yang ada dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari.
a.       Mitra
Dalam cerpen tersebut Mitra memiliki karakter tidak mudah putus asa. Dia tetap berusaha bertahan hidup dengan penuntunnya yang memerasnya padahal matanya buta. Mitra di ancam akan diceburkan ke got apabila tidak mau membelikan rokok penuntunnya. Kemudian Mitra juga harus membelikan lontong ketan apabila ia ingin penuntunnya berjalan lambat. Mitra tetap berusaha walaupun saat dia ditinggalkan penuntunnya di tempat yang panasa. Tarsa penuntun Mitra senaja meninggalkan Mitra di tempat yang panas agar mau membelikannya es limun. Mitra yang tidak mudah putus asa dapat terlihat dari kutipan berikut:
Mitra jengkel dan tidak ingin diperas terus-menerus. Ia akan mencoba bertahan. Maka meski kepalanya serasa diguyur pasir pijar dari langit, Mitra tak ingin memangil Tarsa. Berkali-kali ditelannya ludah yang pekat. Ditahannya rasa pening yang menusuk ubun-ubun. Diusapnya wajah untuk mencoba meredam panas yang menjerang. Mitra betul-betul tidak ingin menyerah kepada penuntunnya. Dan matahari pukul satu siang tak sedetik pun mau berkedip. Sinarnya jatuh lurus menembus batok kepala Mitra dan membawa seribu kunang-kunang. Mitra mulai goyang. Ia bergerak mencari tempat yang teduh dengan kekuatannya sendiri. Kaki yang beretar itu mencoba turun dari gili-gili. Namun, sebelum telapaknya menyentuh jalan, klakson-klakson serentak membentaknya. Mitra terkejut dan surut. (Mata yang Enak Dipandang, 2013: 10)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa Mitra merupakan orang yang tidak mudah putus asa. Mitra tidak mudah menyerah pada keadaan. Meskipun ia buta tapi tetap berusaha dengan kekuatannya sendiri. Pada paragraf selanjutnya juga diperjelas bahwa Mitra memiliki karakter tidak mudah menyerah. Di paragraf selanjutnya diceritakan Mitra mencoba mencari tempat teduh dengan kekuatannya sendiri melewati trotoar, tapi masih belum berhasil karena dia menabrak sepeda yang diparkir melintang. Dari usaha-usaha yang banyak Mitra lakukan itu dapat disimpulkan Mitra memiliki karakter tidak mudah putus asa.


b.      Tarsa
Mitra memiliki karakter tercela yakni suka memeras. Ia sering memeras Mitra yang hanya menjadi pengemis buta. Sebagai penuntun Mitra, Tarsa sering memaksakan kehendak Mitra. Ia akan menjadi penuntun yang baik dan menuruti keinginan Mitra apabila Mitra menuruti kemauannya. Sikap Mitra yang suka memaksakan kehendak atau suka memeras dibuktikan dengan kutipan berikut:
Tadi pagi Tarsa sengaja membimbing Mitra sedemikian rupa sehingga kaki Mitra menginjak tahi anjing. Mitra boleh mendesis dan mengumpat sengit. Tapi Tarsa tertawa, bahkan mengancam akan mendorong Mitra ke dalam got kecuali Mitra mau memberi sebatang rokok. Sebelum itu, Tarsa menolak perintah Mitra untuk berjalan agak lambat. Perintah itu baru dipenuhi setelah Mitra membelikannya lontong ketan. (Mata yang Enak Dipandang, 2013: 9-10)

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa karakter Tarsa suka memeras. Tarsa memeras Mitra yang hanya menjadi pengemis buta. Dengan cara memaksa atau memeras, Tarsa memperoleh apa yang diinginkannya. Selain itu, Tarsa juga memiliki karakter kasar. Kata-kata yang diungkapkannya sering kasar atau tidak punya sopan santun.

3.      Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat berwujud dekor/tempat. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca dan satu periode utama sejarah.
a.      Latar tempat
Di bawah matahari pukul satu siang, Mitra berdiri di seberang jalan depan stasiun. (Mata yang Enak Dipandang, 2013: 9)
Tarsa, yang sejak tadi asyik bermain yoyo di bawah pohon kerai payung di seberang jalan, datang juga. (Mata yang Enak Dipandang, 2013:10)
Maka tanpa tawar-menawar lagi Tarsa membawa Mitra menyeberang dan berhenti di dekat tukang es limun. (Mata yang Enak Dipandang, 2013: 11)

Dari kutipan di atas dapat dilihat berbagai macam tempat yang digunakan dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari. Latar tempat yang ada dalam cerita tersebut antara lain seberang jalan depan stasiun, bawah pohon kerai payung, di dekat tukang es limun.

b.      Latar waktu
Di bawah matahari pukul satu siang, Mitra berdiri di seberang jalan depan stasiun. (Mata yang Enak Dipandang, 2013: 9)
Tanpa sedikit berkedip, matahari terus beringsut ke barat. Bayangan kerai payung bergerak ke arah sebaliknya dan lama-lama wajah Mitra tertatap oleh matahari langsung. (Mata yang Enak Dipandang, 2013: 12)

Dari kutipan di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa latar waktu cerita tersebut adalah siang hari sampai dengan sore hari. Pada kutipan di atas, latar waktu siang hari ditunjukkan dengan kata-kata “pukul satu siang”. Kemudian latar waktu sore hari ditunjukkan oleh kata-kata “matahari terus beringsut ke barat”. Matahari tenggelam di sebelah barat dan kata-kata tersebut secara tidak langsung hari sudah sore.
c.       Latar Sosial
Latar sosial yang ada pada cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari adalah kehidupan orang-orang kecil atau masyarakat bawah. Cerpen tersebut menceritakan Mitra yang keadaannya buta atau matanya keropos. Ia bekerja sebagai pengemis di kereta. Mitra tidak dapat melakukan pekerjaannya sendiri. Ia membutuhkan penuntun. Mitra memiliki penuntun yang bernama Tarsa. Mitra dan Tarsa hidup serba kekurangan. Namun dalam keadaan seperti itu Tarsa malah memeras Mitra. Mereka berdua bekerja bersama mengemis di kereta.
Dalam cerpen tersebut latar sosial yang menunjukkan kehidupan orang-orang bawah atau masyarakat rendah diperjelas dengan berbagai penderitaan yang mereka alami. Selain penderitaan yang mereka alami karena kekurangan dari segi ekonomi, mereka juga sering mendapat hinaan. Banyak mata yang memandang mereka dengan mata yang dingin seperti mata bamboo, mata yang menyesal karena sudah tertumbuk pada sosok seorang kere picek dan penuntunnya, mata yang bagi Tarsa membawa kesan dari dunia yang amat jauh.   
B.     Tema
Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia, sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami manusia seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, penghianatan manusia terhadap dirinya sendiri, disilusi, atau bahkan usia tua. Sama seperti makna pengalaman manusia, tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek kehidupan sehingga nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita. Tema membuat cerita yang lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Bagian awal dan akhir cerita akan menjadi pas, sesuai dan memuaskan berkat keberadaan tema. Tema merupakan elemen yang relevan bagi setiap peristiwa dan detail sebuah cerita.
Tema dari cerpen yang berjudul Mata yang Enak Dipandang adalah penderitaan. Di setiap ceritanya menggambarkan penderitaan. Cerita diawali dengan penderitaan seorang pengemis buta yang bernama Mitra dan penuntunnya yang suka memeras bernama Tarsa. Dalam cerpen tersebut digambarkan penderitaan mereka berdua. Penderitaan Mitra yang tidak bisa melihat dan harus mengemis untuk memenuhi kebutuhannya. Diceritakan penderitaan Tarsa pula yang menjadi penuntun Mitra yang kekurangan dan belum makan dari pagi. Namun Tarsa juga tidak mau meninggalkan Mitra karena hal yang dapat ia lakukan hanyalah menjadi penuntun Mitra.
Penderitaan yang digambarkan tidak hanya sampai di situ. Mitra dan Tarsa pun sempat berdepat tentang hal yang mereka alami. Keduanya tetap menderita walaupun telah saling memahami setelah perdebatan. Penderitaan yang digambarkan semakin nyata saat mereka berdua tidak memiliki apapun dan Mitra tidak mau mengemis karena sakit. Kemudian penderitaan juga ditampilkan di akhir cerita saat Mitra tidak menanggapi panggilan Tarsa yag berbisik di telinganya. Akhir cerita yang digambarkan tidak terlalu jelas tapi dapat diraih anggapan bahwa Mitra akhirnya pingsan atau malah mati.


C.     Sarana-sarana Sastra
Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode smacam ini perlu karena dengannya pembaca melalui kacamata pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi.
  1. Judul
Judul dianggap relevan dengan karyanya apabila membentuk satu kesatuan cerita. Dalam cerpen ini judul yang digunakan oleh Ahmad Tohari adalah Mata yang Enak Dipandang. Judul ini relevan dengan karyanya karena dalam ceritanya, membahas tentang mata yang enak dipandang. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.
Kutipan 1
“Ah betul! Itu dia. Dari tadi aku mau bilang begitu. Tarsa, kamu betul. Mata orang yang suka memberi tidak galak. Mata orang yang suka memberi, kata teman-teman yang melek, enak dipandang. Ya, kukira betul; mata orang yang suka memberi memang enak dipandang.”
Kutipan 2
“Akan aku cari penumpang-penumpang yang matanya enak dipandang. Ayo, Kang Mitra, kita jalan.”
Kutipan 3
… Tarsa ingat, memang sulit mencari orang yang matanya enak dipandang dalam kereta kelas satu….
Kutipan 4
Ah, tidak. Kamu jangan mati. Kalau kamu mati, Kang Mitra, siapa nanti yang akan kutuntun? Siapa nanti yang akan kuantar mencari orang-orang yang punya mata enak dipandang?
Kutipan 5
“Kang Mitra, bangun. Kereta api kelas tiga datang. Ayo kita cari orang-orang yang matanya enak dipandang.”
Kutipan 6
“Kang, kamu ingin kuantar menemui orang-orang yang matanya enak dipandang, bukan?”
Dari kutipan di atas, kita dapat mengetahui bahwa judul yang digunakan penulis relevan dengan cerita yang ada dalam karyanya. Penulis dalam judulnya ingin menyampaikan tentang mata yang enak dipandang dan dalam karyanya pun dibahas tentang mata yang enak dipandang tu. Mata yang enak dipandang dimaksudkan untuk menyebut mata orang-orang yang suka memberi atau dermawan. Penulis ingin menyampaikan bahwa mata orang-orang yang dermawan enak dipandang.

  1. Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan pada cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari adalah sudut pandang orang ketiga tidak terbatas atau sudut pandang orang ketiga serba tahu. Pengarang mengacu pada setiap karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga. Pengarang juga dapat membuat beberapa karekter melihat, mendengar, atau berpikir saat ketika tidak ada satu karakter pun hadir.
Sudut pandang orang ketiga tidak terbatas dapat dilihat dari kutipan berikut ini.
Dalam ketakutannya, Tarsa berpikir bahwa dia lebih baik tidak lagi menyiksa Mitra. Tarsa juga berpikir bahwa sebaiknya ia ikuti saja semua kata Mitra , hanya mengemis di kereta kelas tiga. Dalam hati, Tarsa mengaku, sebagai pengemis Mitra sudah sangat berpengalaman.
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa pengarang memposisikan karakter sebagai orang ketiga tidak terbatas. Pengarang dapat menceritakan karakter tersebut tanpa batas bahkan dapat menceritakan apapun yang dilihat, didengar, dipikirkan atau pun dirasakan karakter yang bersangkutan. Jadi cerpen yang berjudul Mata yang Enak Dipandang menggunakan sudut pandang orang ketiga tidak terbatas.


  1. Gaya dan Tone
Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski dua orang pengarang memakai alur, karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada bahasa dan menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjang-pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan dan banyaknya imaji dan metafora. Campuran dari berbagai aspek di atas (dengan kadar tertentu)  akan menghasilkan gaya.
Beberapa pengarang memiliki gaya yang unik dan efektif sehingga dapat dengan mudah dikenali bahkan pada saat pembacaan pertama. Kita begitu peka terhadap satu gaya mungkin karena kita dapat menikmatinya. Kita menikmati ilusi, visi, dan pemikiran yang dihadirkan oleh gaya itu dan kita juga mengagumi keahlian sang pengarang dalam menerapkan bahasa.
Gaya Ahmad Tohari dalam bercerita biasanya lugas, konkret, simpel, dan langsung. Selain itu menggunakan kalimat yang pendek-pendek dan tidak rumit sehingga mudah dipahami. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut ini:
Mitra jengkel dan tidak ingin diperas terus-menerus. Ia akan mencoba bertahan. Maka meski kepalanya serasa diguyur pasir pijar dari langit, Mitra tak ingin memangil Tarsa. Berkali-kali ditelannya ludah yang pekat. Ditahannya rasa pening yang menusuk ubun-ubun. Diusapnya wajah untuk mencoba meredam panas yang menjerang. Mitra betul-betul tidak ingin menyerah kepada penuntunnya. (Mata yang Enak Dipandang, 2013: 10)

Selain itu Ahmad Tohari juga padai mendeskripsikan latar dengan kata-kata yang indah. Ahmad Tohari dengan pandai melukiskan latar sehingga menarik perhatian pembaca. Pembaca akan dibuat seolah-olah masuk dalam cerita dan menyaksikan kejadian yang ada. Kepandaian Ahmad Tohari dalam mendeskripsikan latar dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Kembali menjadi patung kelaras yang gelisah, Mitra berdiri goyang di atas gili-gili. Kunang-kunang lebih banyak lagi masuk ke rongga matanya yang keropos. Kedua kakinya bergerak lagi. Kini Mitra bukan hendak menyeberang, melainkan berjalan menyusuri trotoar. Mitra harus meninggalkan tempat itu kalau ia tidak ingin mati kering seperti dendeng. Namun baru beberapa kali melangkah, Mitra melanggar sepeda yang diparkir melintang. Sepeda tumbang dan tubuh Mitra serta merta menindihnya. Bunyi berderak disambut sorak sorai dari seberang jalan. Dan itu suara Tarsa.  (Mata yang Enak Dipandang, 2013: 10)

Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita. Sikap emosional yang ditunjukkan Ahmad Tohari dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang adalah tone misterius. Hal itu terlihat jelas pada akhir cerita. Akhir cerita tidak dilukiskan secara jelas tapi dibuat menggantung atau misterius. Pengarang sepertinya ingin membuat pembaca menebak-nebak apa yang terjadi pada Mitra. Apakah Mitra mati atau hanya pingsan? Pertanyaan itu akan selalu hadir ketika pembaca selesai membaca cerita ini. Pertanyaan itu sangat misterius karena hanya Ahmad Tohari sendiri yang tahu jawabannya. Jadi sikap emosional atau tone yang ditampilkan pada cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari adalah misterius.  

  1. Simbolisme
Simbol yang dimunculkan dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari melalui penamaan karakter yang ada. Karakter yang bernama Mitra menyimbolkan judul dan keseluruhan isi cerita. Mitra dapat diartikan sebagai teman, sahabat dan rekan kerja. Karakter Mitra dalam cerpen tersebut adalah seorang yang buta dan tidak dapat melihat apapun. Ia bekerja sebagai pengemis di kereta. Sebagai seorang yang buta, dia selalu membutuhkan teman. Mitra memiliki Tarsa sebagai teman kerjanya atau penuntunnya. Tidak hanya Tarsa saja yang dibutuhkan Mitra, tapi juga mata-mata orang yang enak dipandang atau mata yang dermawan yang mau berteman dengan orang buta. Berteman dalam arti memberikan uang untuk pengemis buta itu.
Nama Mitra dapat dikaitkan dengan judul dan keseluruhan isi cerita. Dalam cerpen yang berjudul Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari menceritakan seorang pengemis buta yang selalu membutuhkan teman hidup. Bahkan saat ia kepanasan pun ia tidak dapat mengatasi masalah itu. Pengemis buta itu selalu membutuhkan teman atau mitra, baik itu penuntunnya maupun mata orang-orang yang enak dipandang yang memberinya uang untuk membantu kehidupannya.

  1. Ironi
Secara umum, ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya. Dalam dunia fiksi ada dua jenis ironi yaitu ironi dramatis dan tone ironis. Ironi dramatis atau ironi alur dan situasi biasanya muncul melalui kontras diametris antara penampilan dan realitas, antara maksud dan tujuan seseorang karakter dengan hasilnya, atau antara harapan dengan apa yang sebenarya terjadi. Sedangkan tone ironis atau ironi verbal digunakan untuk menyebut cara berekpresi yang mengungkapkan makna dari cara sebaliknya.
Dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari ditemukan ironi dramatis. Suatu yang berlawanan dengan apa yang diduga sebelumnya muncul pada harapan dengan apa yang terjadi sebenarnya. Satelah pembaca sampai pada perdebatan Mitra dan Tarsa kemudian Tarsa sepakat untuk hanya mengemis di kereta kelas tiga, harapan yang muncul adalah selanjutnya mereka berdua mengemis di kereta kelas tiga setelah kereta itu datang. Namun harapan itu tidak terjadi, yang terjadi adalah Mitra yang tidak terbangun saat kereta kelas tiga datang. Mitra tidak mendengar panggiln Tarsa yang mengajaknya mengemis. Hal yang diduga sebelumnya tidak sama dengan apa yang terjadi.  


3 comments:

“Terima kasih sudah membaca blog saya, silahkan tinggalkan komentar”