ANALISIS STRUKTURAL ROBERT STANTON PADA CERPEN MATA YANG ENAK DIPANDANG KARYA AHMAD
TOHARI
Kartikasari F.
Surel: ksari8015@gmail.com
Setiap
karya sastra yang berhasil merupakan individu yang unik karena sebenarnya tidak
ada seorang pun yang dapat ‘menguraikan’ sebuah organisme secara menyeluruh.
Meskipun demikian, sebagaimana yang dialami oleh filsafat, biologi, dan
kedokteran, semuanya harus diawali dari prinsip-prinsip umum. Pembaca perlu
mewaspadai adanya modifikasi-modifikasi atau kontradiksi-kontradiksi yang
terjadi pada sebuah cerita meski dia mengawalinya dari suatu generalisasi.
Konsep-konsep seperti tema, simbolisme, konflik dan sebagainya dapat membantu
pembaca memahami sebuah cerita. Satu yang tidak dapat dilakukan adalah
merekayasa cerita agar cocok dengan konsep-konsep tertentu.
Singkat
kata, tidak ada satu pun konsep atau prinsip kesastraan yang dapat menggantikan
peran membaca (terutama yang penuh dengan penghayatan). Kejelian dibutuhkan
untuk membaca suatu karya sastra. Jika membaca suatu karya sastra secara cepat
dan singkat, pemahaman keseluruhan yang diperoleh dari suatu cerita akan
bersifat prematur. Seorang pengarang fiksi serius yang bagus adalah pribadi
yang cerdas, peka, dan ahli dalam menjalankan profesinya yang sulit.
Karya-karyanya selalu membutuhkan dan menghendaki perlakuan-perlakuan khusus.
Pembacaan sembrono, kesimpulan prematur dan penilaian yang terburu-buru hanya
akan menjadikan nilainya berkurang.
Analisis
ini akan menggunakan cerpen yang berjudul Mata
yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari sebagai objeknya. Dalam analisis ini
akan dibahas mengenai tiga bagian utama yakni fakta-fakta cerita, tema, dan
sarana-sarana sastra sebagai berikut.
A.
Fakta-fakta Cerita
Karakter,
alur dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi
sebagai catatan kejadian yang imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum
menjadi satu, semua elemen ini dinamakan ‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan faktual’
cerita.
1.
Alur
Secara
umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah
alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal
saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak
dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh
pada keseluruhan karya. Peristiwa kausal tidak terbatas pada hal-hal fisik saja
seperti ujaran atau tindakan, tetapi mencakup perubahan sikap karakter,
kilasan-kilasan pandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang menjadi
variabel pengubah dalam dirinya.
Dua
elemen dasar yang membangun alur adalah ‘konflik’ dan ‘klimaks’. Setiap karya
sastra fiksi setidak-tidaknya memiliki konflik internal (yang tampak jelas)
yang hadir melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat seseorang dengan
lingkungannya. Konflik-konflik spesifik ini merupakan subordinasi satu ‘konflik
utama’ yang bersifat eksternal, internal atau dua-duanya. Sedangkan klimaks
adalah saat ketika konflik sangat intens sehinggan ending tidak dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan titik yang
mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi
tersebut dapat terselesaikan (terselesaikan bukan ditentukan). Klimaks utama
sulit dikenali karena konflik-konflik subordinat pun memiliki klimaks-klimaks
sendiri.
Alur
dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang karya
Ahmad Tohari adalah alur maju karena cerita dimulai dari awal cerita, tengah
dan akhir. Plot atau alur terebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
a.
Bagian Awal
Pada
bagian awal, pengarang menceritakan kegelisahan Mitra yang buta kepanasan. Masalah
yang muncul di bagian awal adalah Mitra yang tidak bisa pergi dari tempat panas
itu. Konflik yang terjadi pada bagian awal adalah konflik internal atau konflik
batin. Konflik itu terjadi pada diri Mitra. Ia merasa sangat tersiksa dan
gelisah di tempat yang sangat panas itu. Akan tetapi Mitra mencoba menabahkan
dirinya agar tetap bertahan tanpa Tarsa penuntunnya yang jahat. Mitra kemudian
mencoba berusaha pergi dari tempat itu. Namun baru saja ia hendak pergi,
klakson-klakson kendaraan banyak yang membentaknya. Mitra mengurungkan niatnya
dan kembali di tempat semula.
Mitra
tidak putus asa dengan keadaannya. Namun dalam hati Mitra merasa sangat
gelisah. Ia tidak mau mati kering di tempat itu seperti dendeng. Mitra mencoba
berusaha lagi. Mitra mencoba pergi dari tempat itu melewati trotoar. Usaha
Mitra masih belum berhasil karena ia menabrak sepeda yang diparkir melintang.
Mitra ambruk bersama sepeda itu. Pemilik sepeda datang hanya untuk membenarkan
sepedanya dan tidak mempedulikan Mitra yang tak berdaya. Sementara Tarsa
tertawa dari seberang jalan.
Akhirnya
Tarsa menolong Mitra dan mengajaknya pergi minum es limun. Mitra membelikan es
limun pada penuntunnya itu agar mau menuruti perintahnya. Mitra membelikan es
limun untuk Tarsa sementara ia hanya minum tiga gelas air putih. Setelah itu,
Tarsa kembali bermain dengan yoyonya sementara Mitra terkulai lemas di bawah
pohon kerai payung. Konflik yang ada saat itu adalah konflik internal dalam
diri Mitra. Mitra tidak dapat pergi kemana-mana tanpa penuntunya tapi ia juga
tidak bisa diperas terus-menerus oleh Tarsa. Terjadi konflik batin Mitra untuk
menuruti keinginan Tarsa yang memaksa atau memeras itu. Namun akhirnya Mitra
menuruti permintaan Tarsa.
b.
Bagian Tengah
Konflik
di bagian tengah dimulai saat kereta kelas satu datang. Tarsa mengajak Mitra
untuk mengemis di kereta itu. Mitra bangun dari tidurnya atau siuman tapi ia
tidak mau mengemis di kereta itu. Mitra sakit, badannya panas dan bibirnya
sangat pucat. Tarsa tetap memaksa Mitra untuk mengemis karena dari pagi mereka
belum makan dan butuh uang untuk makan. Mitra tetap menolak.
Klimaks
dalam cerpen ini dimunculkan pada bagian tengah. Saat Mitra tetap menolak dan
Tarsa tidak mau mengalah, terjadilah klimaks di cerpen ini. Mitra dan Tarsa
berdebat tentang mengemis. Mitra berpendapat bahwa mata orang yang suka memberi
adalah mata-mata yang enak dipandang. Namun Tarsa tidak menerima pendapat Mitra
karena ia tahu Mitra buta. Tarsa berpikiran bahwa orang buta tidak mungkin akan
dapat melihat mata orang yang enak dipandang. Mitra tidak mau mengalah karena
pengalamannya menjadi pengemis sudah banyak dan penuntun-penuntun sebelum Tarsa
dapat membawanya ke orang-orang yang matanya enak dipandang.
Menurut
Mitra mata orang-orang yang enak dipandang jarang dijumpai di kereta kelas
satu. Mata orang yang dermawan atau orang yang suka memberi banyak dijumpai di
kereta kelas tiga. Tarsa akhirnya memikirkan pendapat Mitra dan akhirnya ia
tahu pendapat Mitra itu benar. Mereka berdua sepakat untuk menunggu kereta
kelas tiga dan mengemis di kereta itu.
c.
Bagian Akhir
Setelah
mereka berdua sepakat untuk menunggu kedatangan kereta kelas tiga, Mitra
kembali merbahkan tubuhnya. Beberapa saat kemudian kereta kelas tiga datang dan
Tarsa mencoba membangunkan Mitra. Akhir cerita dalam cerpen tersebut tidak
begitu jelas karena hanya dijelaskan Mitra
tidak menjawab panggilan Tarsa dan saat Tarsa menggoyangkan tubuh Mitra,
masih tetap hening. Akhir cerita ini digantung oleh pengarang. Pengarang ingin
membuat pembaca menebak-nebak apa yang seharusnya terjadi. Pembaca akan
bertanya-tanya tentang akhir yang sebenarnya. Apakah Mitra pingsan atau malah
mati?
2.
Karakter
Terma
karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter menunjuk
pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua karakter merujuk
pada pencampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral
dari individu-individu tersebut yang tampak implisit. Berikut akan dijelaskan
karakter-karakter yang ada dalam cerpen Mata
yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari.
a.
Mitra
Dalam
cerpen tersebut Mitra memiliki karakter tidak mudah putus asa. Dia tetap
berusaha bertahan hidup dengan penuntunnya yang memerasnya padahal matanya
buta. Mitra di ancam akan diceburkan ke got apabila tidak mau membelikan rokok
penuntunnya. Kemudian Mitra juga harus membelikan lontong ketan apabila ia
ingin penuntunnya berjalan lambat. Mitra tetap berusaha walaupun saat dia
ditinggalkan penuntunnya di tempat yang panasa. Tarsa penuntun Mitra senaja
meninggalkan Mitra di tempat yang panas agar mau membelikannya es limun. Mitra
yang tidak mudah putus asa dapat terlihat dari kutipan berikut:
Mitra jengkel dan tidak ingin
diperas terus-menerus. Ia akan mencoba bertahan. Maka meski kepalanya serasa
diguyur pasir pijar dari langit, Mitra tak ingin memangil Tarsa. Berkali-kali
ditelannya ludah yang pekat. Ditahannya rasa pening yang menusuk ubun-ubun.
Diusapnya wajah untuk mencoba meredam panas yang menjerang. Mitra betul-betul
tidak ingin menyerah kepada penuntunnya. Dan matahari pukul satu siang tak
sedetik pun mau berkedip. Sinarnya jatuh lurus menembus batok kepala Mitra dan
membawa seribu kunang-kunang. Mitra mulai goyang. Ia bergerak mencari tempat
yang teduh dengan kekuatannya sendiri. Kaki yang beretar itu mencoba turun dari
gili-gili. Namun, sebelum telapaknya menyentuh jalan, klakson-klakson serentak
membentaknya. Mitra terkejut dan surut. (Mata
yang Enak Dipandang, 2013: 10)
Dari
kutipan di atas terlihat bahwa Mitra merupakan orang yang tidak mudah putus
asa. Mitra tidak mudah menyerah pada keadaan. Meskipun ia buta tapi tetap
berusaha dengan kekuatannya sendiri. Pada paragraf selanjutnya juga diperjelas
bahwa Mitra memiliki karakter tidak mudah menyerah. Di paragraf selanjutnya
diceritakan Mitra mencoba mencari tempat teduh dengan kekuatannya sendiri
melewati trotoar, tapi masih belum berhasil karena dia menabrak sepeda yang
diparkir melintang. Dari usaha-usaha yang banyak Mitra lakukan itu dapat
disimpulkan Mitra memiliki karakter tidak mudah putus asa.
b.
Tarsa
Mitra
memiliki karakter tercela yakni suka memeras. Ia sering memeras Mitra yang
hanya menjadi pengemis buta. Sebagai penuntun Mitra, Tarsa sering memaksakan
kehendak Mitra. Ia akan menjadi penuntun yang baik dan menuruti keinginan Mitra
apabila Mitra menuruti kemauannya. Sikap Mitra yang suka memaksakan kehendak
atau suka memeras dibuktikan dengan kutipan berikut:
Tadi pagi Tarsa sengaja
membimbing Mitra sedemikian rupa sehingga kaki Mitra menginjak tahi anjing.
Mitra boleh mendesis dan mengumpat sengit. Tapi Tarsa tertawa, bahkan mengancam
akan mendorong Mitra ke dalam got kecuali Mitra mau memberi sebatang rokok.
Sebelum itu, Tarsa menolak perintah Mitra untuk berjalan agak lambat. Perintah
itu baru dipenuhi setelah Mitra membelikannya lontong ketan. (Mata yang Enak Dipandang, 2013: 9-10)
Dari
kutipan di atas dapat dilihat bahwa karakter Tarsa suka memeras. Tarsa memeras
Mitra yang hanya menjadi pengemis buta. Dengan cara memaksa atau memeras, Tarsa
memperoleh apa yang diinginkannya. Selain itu, Tarsa juga memiliki karakter
kasar. Kata-kata yang diungkapkannya sering kasar atau tidak punya sopan
santun.
3.
Latar
Latar
adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta
berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat
berwujud dekor/tempat. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari,
bulan, dan tahun), cuaca dan satu periode utama sejarah.
a.
Latar tempat
Di bawah matahari pukul satu siang, Mitra berdiri di
seberang jalan depan stasiun. (Mata yang
Enak Dipandang, 2013: 9)
Tarsa, yang sejak tadi asyik bermain yoyo di bawah
pohon kerai payung di seberang jalan, datang juga. (Mata yang Enak Dipandang, 2013:10)
Maka tanpa tawar-menawar lagi Tarsa membawa Mitra
menyeberang dan berhenti di dekat tukang es limun. (Mata yang Enak Dipandang, 2013: 11)
Dari kutipan di atas
dapat dilihat berbagai macam tempat yang digunakan dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad
Tohari. Latar tempat yang ada dalam cerita tersebut antara lain seberang jalan
depan stasiun, bawah pohon kerai payung, di dekat tukang es limun.
b.
Latar waktu
Di bawah matahari pukul satu siang, Mitra berdiri di
seberang jalan depan stasiun. (Mata yang
Enak Dipandang, 2013: 9)
Tanpa sedikit berkedip, matahari terus beringsut ke
barat. Bayangan kerai payung bergerak ke arah sebaliknya dan lama-lama wajah
Mitra tertatap oleh matahari langsung. (Mata
yang Enak Dipandang, 2013: 12)
Dari kutipan di atas
dapat dilihat dengan jelas bahwa latar waktu cerita tersebut adalah siang hari
sampai dengan sore hari. Pada kutipan di atas, latar waktu siang hari
ditunjukkan dengan kata-kata “pukul satu siang”. Kemudian latar waktu sore hari
ditunjukkan oleh kata-kata “matahari terus beringsut ke barat”. Matahari tenggelam
di sebelah barat dan kata-kata tersebut secara tidak langsung hari sudah sore.
c.
Latar Sosial
Latar sosial yang ada
pada cerpen Mata yang Enak Dipandang karya
Ahmad Tohari adalah kehidupan orang-orang kecil atau masyarakat bawah. Cerpen
tersebut menceritakan Mitra yang keadaannya buta atau matanya keropos. Ia
bekerja sebagai pengemis di kereta. Mitra tidak dapat melakukan pekerjaannya
sendiri. Ia membutuhkan penuntun. Mitra memiliki penuntun yang bernama Tarsa.
Mitra dan Tarsa hidup serba kekurangan. Namun dalam keadaan seperti itu Tarsa
malah memeras Mitra. Mereka berdua bekerja bersama mengemis di kereta.
Dalam cerpen tersebut
latar sosial yang menunjukkan kehidupan orang-orang bawah atau masyarakat
rendah diperjelas dengan berbagai penderitaan yang mereka alami. Selain
penderitaan yang mereka alami karena kekurangan dari segi ekonomi, mereka juga
sering mendapat hinaan. Banyak mata yang memandang mereka dengan mata yang
dingin seperti mata bamboo, mata yang menyesal karena sudah tertumbuk pada sosok
seorang kere picek dan penuntunnya,
mata yang bagi Tarsa membawa kesan dari dunia yang amat jauh.
B.
Tema
Tema
merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia,
sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Ada banyak cerita yang
menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami manusia seperti
cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, penghianatan manusia terhadap
dirinya sendiri, disilusi, atau bahkan usia tua. Sama seperti makna pengalaman
manusia, tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek kehidupan sehingga nantinya
akan ada nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita. Tema membuat cerita yang
lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Bagian awal dan akhir
cerita akan menjadi pas, sesuai dan memuaskan berkat keberadaan tema. Tema
merupakan elemen yang relevan bagi setiap peristiwa dan detail sebuah cerita.
Tema
dari cerpen yang berjudul Mata yang Enak
Dipandang adalah penderitaan. Di setiap ceritanya menggambarkan
penderitaan. Cerita diawali dengan penderitaan seorang pengemis buta yang
bernama Mitra dan penuntunnya yang suka memeras bernama Tarsa. Dalam cerpen
tersebut digambarkan penderitaan mereka berdua. Penderitaan Mitra yang tidak
bisa melihat dan harus mengemis untuk memenuhi kebutuhannya. Diceritakan
penderitaan Tarsa pula yang menjadi penuntun Mitra yang kekurangan dan belum
makan dari pagi. Namun Tarsa juga tidak mau meninggalkan Mitra karena hal yang
dapat ia lakukan hanyalah menjadi penuntun Mitra.
Penderitaan
yang digambarkan tidak hanya sampai di situ. Mitra dan Tarsa pun sempat
berdepat tentang hal yang mereka alami. Keduanya tetap menderita walaupun telah
saling memahami setelah perdebatan. Penderitaan yang digambarkan semakin nyata
saat mereka berdua tidak memiliki apapun dan Mitra tidak mau mengemis karena
sakit. Kemudian penderitaan juga ditampilkan di akhir cerita saat Mitra tidak
menanggapi panggilan Tarsa yag berbisik di telinganya. Akhir cerita yang
digambarkan tidak terlalu jelas tapi dapat diraih anggapan bahwa Mitra akhirnya
pingsan atau malah mati.
C.
Sarana-sarana Sastra
Sarana-sarana
sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail
cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode smacam ini perlu karena
dengannya pembaca melalui kacamata pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta
tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi.
- Judul
Judul dianggap relevan
dengan karyanya apabila membentuk satu kesatuan cerita. Dalam cerpen ini judul
yang digunakan oleh Ahmad Tohari adalah Mata
yang Enak Dipandang. Judul ini relevan dengan karyanya karena dalam
ceritanya, membahas tentang mata yang enak dipandang. Hal tersebut dapat
dilihat dari kutipan berikut.
Kutipan 1
“Ah betul! Itu dia.
Dari tadi aku mau bilang begitu. Tarsa, kamu betul. Mata orang yang suka
memberi tidak galak. Mata orang yang suka memberi, kata teman-teman yang melek,
enak dipandang. Ya, kukira betul; mata orang yang suka memberi memang enak
dipandang.”
Kutipan 2
“Akan aku cari
penumpang-penumpang yang matanya enak dipandang. Ayo, Kang Mitra, kita jalan.”
Kutipan 3
… Tarsa ingat, memang
sulit mencari orang yang matanya enak dipandang dalam kereta kelas satu….
Kutipan 4
Ah, tidak. Kamu jangan
mati. Kalau kamu mati, Kang Mitra, siapa nanti yang akan kutuntun? Siapa nanti
yang akan kuantar mencari orang-orang yang punya mata enak dipandang?
Kutipan 5
“Kang Mitra, bangun.
Kereta api kelas tiga datang. Ayo kita cari orang-orang yang matanya enak
dipandang.”
Kutipan 6
“Kang, kamu ingin
kuantar menemui orang-orang yang matanya enak dipandang, bukan?”
Dari kutipan di atas,
kita dapat mengetahui bahwa judul yang digunakan penulis relevan dengan cerita
yang ada dalam karyanya. Penulis dalam judulnya ingin menyampaikan tentang mata
yang enak dipandang dan dalam karyanya pun dibahas tentang mata yang enak
dipandang tu. Mata yang enak dipandang dimaksudkan untuk menyebut mata
orang-orang yang suka memberi atau dermawan. Penulis ingin menyampaikan bahwa
mata orang-orang yang dermawan enak dipandang.
- Sudut Pandang
Sudut pandang yang
digunakan pada cerpen Mata yang Enak
Dipandang karya Ahmad Tohari adalah sudut pandang orang ketiga tidak
terbatas atau sudut pandang orang ketiga serba tahu. Pengarang mengacu pada
setiap karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga. Pengarang juga dapat
membuat beberapa karekter melihat, mendengar, atau berpikir saat ketika tidak
ada satu karakter pun hadir.
Sudut pandang orang
ketiga tidak terbatas dapat dilihat dari kutipan berikut ini.
Dalam
ketakutannya, Tarsa berpikir bahwa dia lebih baik tidak lagi menyiksa Mitra.
Tarsa juga berpikir bahwa sebaiknya ia ikuti saja semua kata Mitra , hanya
mengemis di kereta kelas tiga. Dalam hati, Tarsa mengaku, sebagai pengemis
Mitra sudah sangat berpengalaman.
Dari kutipan di atas
dapat dilihat bahwa pengarang memposisikan karakter sebagai orang ketiga tidak
terbatas. Pengarang dapat menceritakan karakter tersebut tanpa batas bahkan
dapat menceritakan apapun yang dilihat, didengar, dipikirkan atau pun dirasakan
karakter yang bersangkutan. Jadi cerpen yang berjudul Mata yang Enak Dipandang menggunakan sudut pandang orang ketiga
tidak terbatas.
- Gaya dan Tone
Dalam sastra, gaya
adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski dua orang pengarang
memakai alur, karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat
berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada bahasa dan menyebar dalam
berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjang-pendek kalimat, detail, humor,
kekonkretan dan banyaknya imaji dan metafora. Campuran dari berbagai aspek di
atas (dengan kadar tertentu) akan
menghasilkan gaya.
Beberapa pengarang
memiliki gaya yang unik dan efektif sehingga dapat dengan mudah dikenali bahkan
pada saat pembacaan pertama. Kita begitu peka terhadap satu gaya mungkin karena
kita dapat menikmatinya. Kita menikmati ilusi, visi, dan pemikiran yang
dihadirkan oleh gaya itu dan kita juga mengagumi keahlian sang pengarang dalam
menerapkan bahasa.
Gaya Ahmad Tohari dalam
bercerita biasanya lugas, konkret, simpel, dan langsung. Selain itu menggunakan
kalimat yang pendek-pendek dan tidak rumit sehingga mudah dipahami. Hal itu
dapat dilihat dari kutipan berikut ini:
Mitra jengkel dan tidak ingin
diperas terus-menerus. Ia akan mencoba bertahan. Maka meski kepalanya serasa
diguyur pasir pijar dari langit, Mitra tak ingin memangil Tarsa. Berkali-kali
ditelannya ludah yang pekat. Ditahannya rasa pening yang menusuk ubun-ubun.
Diusapnya wajah untuk mencoba meredam panas yang menjerang. Mitra betul-betul
tidak ingin menyerah kepada penuntunnya. (Mata
yang Enak Dipandang, 2013: 10)
Selain itu Ahmad Tohari
juga padai mendeskripsikan latar dengan kata-kata yang indah. Ahmad Tohari
dengan pandai melukiskan latar sehingga menarik perhatian pembaca. Pembaca akan
dibuat seolah-olah masuk dalam cerita dan menyaksikan kejadian yang ada.
Kepandaian Ahmad Tohari dalam mendeskripsikan latar dapat dilihat dalam kutipan
berikut:
Kembali menjadi patung kelaras
yang gelisah, Mitra berdiri goyang di atas gili-gili. Kunang-kunang lebih
banyak lagi masuk ke rongga matanya yang keropos. Kedua kakinya bergerak lagi. Kini
Mitra bukan hendak menyeberang, melainkan berjalan menyusuri trotoar. Mitra
harus meninggalkan tempat itu kalau ia tidak ingin mati kering seperti dendeng.
Namun baru beberapa kali melangkah, Mitra melanggar sepeda yang diparkir melintang.
Sepeda tumbang dan tubuh Mitra serta merta menindihnya. Bunyi berderak disambut
sorak sorai dari seberang jalan. Dan itu suara Tarsa. (Mata
yang Enak Dipandang, 2013: 10)
Tone adalah sikap
emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita. Sikap emosional yang
ditunjukkan Ahmad Tohari dalam cerpen Mata
yang Enak Dipandang adalah tone misterius. Hal itu terlihat jelas pada
akhir cerita. Akhir cerita tidak dilukiskan secara jelas tapi dibuat
menggantung atau misterius. Pengarang sepertinya ingin membuat pembaca
menebak-nebak apa yang terjadi pada Mitra. Apakah Mitra mati atau hanya
pingsan? Pertanyaan itu akan selalu hadir ketika pembaca selesai membaca cerita
ini. Pertanyaan itu sangat misterius karena hanya Ahmad Tohari sendiri yang
tahu jawabannya. Jadi sikap emosional atau tone yang ditampilkan pada cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad
Tohari adalah misterius.
- Simbolisme
Simbol yang dimunculkan
dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang karya
Ahmad Tohari melalui penamaan karakter yang ada. Karakter yang bernama Mitra
menyimbolkan judul dan keseluruhan isi cerita. Mitra dapat diartikan sebagai
teman, sahabat dan rekan kerja. Karakter Mitra dalam cerpen tersebut adalah
seorang yang buta dan tidak dapat melihat apapun. Ia bekerja sebagai pengemis
di kereta. Sebagai seorang yang buta, dia selalu membutuhkan teman. Mitra
memiliki Tarsa sebagai teman kerjanya atau penuntunnya. Tidak hanya Tarsa saja
yang dibutuhkan Mitra, tapi juga mata-mata orang yang enak dipandang atau mata
yang dermawan yang mau berteman dengan orang buta. Berteman dalam arti
memberikan uang untuk pengemis buta itu.
Nama Mitra dapat
dikaitkan dengan judul dan keseluruhan isi cerita. Dalam cerpen yang berjudul Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad
Tohari menceritakan seorang pengemis buta yang selalu membutuhkan teman hidup.
Bahkan saat ia kepanasan pun ia tidak dapat mengatasi masalah itu. Pengemis
buta itu selalu membutuhkan teman atau mitra, baik itu penuntunnya maupun mata
orang-orang yang enak dipandang yang memberinya uang untuk membantu
kehidupannya.
- Ironi
Secara umum, ironi
dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan dengan apa
yang telah diduga sebelumnya. Dalam dunia fiksi ada dua jenis ironi yaitu ironi
dramatis dan tone ironis. Ironi dramatis atau ironi alur dan situasi biasanya
muncul melalui kontras diametris antara penampilan dan realitas, antara maksud
dan tujuan seseorang karakter dengan hasilnya, atau antara harapan dengan apa
yang sebenarya terjadi. Sedangkan tone ironis atau ironi verbal digunakan untuk
menyebut cara berekpresi yang mengungkapkan makna dari cara sebaliknya.
Dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad
Tohari ditemukan ironi dramatis. Suatu yang berlawanan dengan apa yang diduga
sebelumnya muncul pada harapan dengan apa yang terjadi sebenarnya. Satelah
pembaca sampai pada perdebatan Mitra dan Tarsa kemudian Tarsa sepakat untuk
hanya mengemis di kereta kelas tiga, harapan yang muncul adalah selanjutnya
mereka berdua mengemis di kereta kelas tiga setelah kereta itu datang. Namun
harapan itu tidak terjadi, yang terjadi adalah Mitra yang tidak terbangun saat
kereta kelas tiga datang. Mitra tidak mendengar panggiln Tarsa yang mengajaknya
mengemis. Hal yang diduga sebelumnya tidak sama dengan apa yang terjadi.
no references?
ReplyDeleteApakah nilai kehidupan yang terdapat dalam cerpen tersebut means cerpen ini??
ReplyDeleteButuh referencenya
ReplyDelete