Wednesday, 25 November 2015

ANALISIS STILISTIKA PUISI PERARAKAN JENAZAH KARYA HARTOJO ANDANGDJAJA


ANALISIS STILISTIKA PUISI PERARAKAN JENAZAH KARYA HARTOJO ANDANGDJAJA
Kartikasari F.
ABSTRAK
Analisis stilistika puisi yang berjudul Perarakan Jenazah karya Hartojo Andangdjaja dilakukan pembacaan heuristik, pembacaan hermeneutik dan analisis gaya bahasa. Dalam analisis gaya bahasa dilakukan analisis pada gaya kalimat, gaya kata, gaya bunyi dan pengimajian. Setelah dilakukan analisis tersebut diperoleh hasil yakni makna puisi Perarakan Jenazah yang berisi tentang cerita suatu kematian melalui pembacaan heuristik. dan pembacaan reteroaktif atau hermeneutik. Analisis gaya bahasanya meliputi: gaya kalimat terdapat pemadatan kalimat di setiap barisnya; gaya kata ditemukan personifiasi, metafora, metonomia dan sinekdoki pars pro toto; gaya kata ditemukan asonansi dan aliterasi pada setiap barisnya dan pengimajian ditemukan imaji visual, imaji auditif dan imaji taktil.
Kata kunci: heuristik, hermeneutik, gaya bahasa


A.     LATAR BELAKANG
Karya sastra merupakan suatu tiruan dari kehidupan nyata yang memiliki suatu makna tertentu yang dapat diraih oleh para pembaca setelah membaca dan menelaahnya. Penelitian karya sastra pada waktu sekarang banyak ditujukan pada struktur penceritaannya seperti tema, alur, penokohan, dan latar. Akan tetapi, penelitian gaya bahasa yang merupakan salah satu sarana kesusasteraan yang sangat penting. Gaya bahasa merupakan sarana sastra yang turut menyumbangkan nilai kepuitisan atau estetik karya sastra, bahkan seringkali nilai seni suatu karya sastra ditentukan oleh gaya bahasanya.

Pembaca dapat memahami makna dan keindahan yang terkandung dalam karya sastra dapat digunakan analisis gaya bahasa atau yang sering disebut stilistika. Oleh karena itu, penulis akan membahas tentang pembacaan heuristik, pembacaan hermeneutik dan analisis gaya bahasa itu sendiri. Analisis gaya bahasa meliputi gaya kalimat, gaya kata, gaya bunyi dan pengimajian.

B.     LANDASAN TEORI
Stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa. Stilistika adalah ilmu bagian dari linguistik yang memusatkan diri pada variasi-variasi penggunaan bahasa, seringkali, tetapi tidak eksklusif, memberikan perhatian khusus kepada penggunaan bahasa yang paling sadar dan paling kompleks dalam kesusastraan. Stilistika berarti studi tentang gaya bahasa, menyusgestikan sebuah ilmu, paling sedikit merupakan sebuah studi yang metodis (Turner 1977: 7-8 dalam Rahmat Djoko Pradopo).
Dick Hartoko dan B. Rahmanto (1980: 38) bahwa dalam stilistika, ilmu meneliti gaya bahasa dibedakan antara stilistika diskriptis dan stilistika genetis. Stiliska diskritif mendekati gaya bahasa sebagai keseluruhan daya ekspresi kejiwaan yang tergantung dalam suatu bahasa sehingga meneliti nilai-nilai ekspresivitas khusus yang tergantung dalam suatu bahasa (language), yaitu secara morfologis, sintaksis, dan semantik. Adapun stilistika genetis adalah stilistika individual yang memandang gaya bahasa sebagai suatu ungkapan yang khas pribadi.
 Abrams (1981: 190-191) mengemukakan bahwa gaya bahasa suatu karya sastra itu dapat dianalisis dalam hal diksi atau pilihan katanya, susunan kalimat atau sintaksisnya, kepadatan dan tipe-tipe bahasa kiasannya, pola-pola ritmenya, komponen bunyi, ciri-ciri formal lain dan tujuan-tujuan serta sarana retorikanya.
Penggunaan bahasa secara tertentu meliputi penggunaan semua aspek bahasanya, yaitu intonasi, bunyi, kata dan kalimatnya. Hanya saja intonasi ini hanya tampak jelas dalam bahasa lisan. Oleh karena itu, dalam penelitian teks tertulis intonasi tidak diteliti, kecuali dalam hal irama yang tampak dalam struktur bunyi bahasanya dalam karya sastra.
Gaya bahasa merupakan unsur struktur karya sastra sebagai sistem tanda yang bermakna, maka satuan-satuan berfungsinya diantaranya: bunyi, kata, kalimat yang bersifat khusus dalam arti sebagai sarana kebahasaan untuk mendapatkan efek tertentu ataupun efek estetis. Sebelum dilakukan analisis karya sastra perlu dipahami maknanya dengan pembacaan heuristik dan pembacaan reteroaktif atau hermeneutik seperti dikemukakan Riffaterne (1978: 5-6).

C.     PEMBAHASAN
Puisi yang akan dianalisis menggunakan pendekatan stilistika adalah puisi yang berjudul Perarakan Jenazah karya Hartojo Andangdjaja. Berikut disajikan puisi tersebut.
Perarakan Jenazah
Karya Hartojo Andangdjaja
kami mengiring jenazah hitam
depan kami kereta mati bergerak pelan
orang-orang tua berjalan menunduk diam
dicekam hitam bayangan
makam muram awan muram
menanti perarakan di ujung jalan

tapi kami selalu berebut kesempatan
kami lempar pandang
kami lempar kembang
bila dara-dara berjengukan
dari jendela-jendela di sepanjang tepi jalan
lihat, di mata mereka di bibir mereka
hidup memerah bermerkahan

Begitu kami isi jarak sepanjang jalan
Antara rumah tumpangan dan kesepian kuburan

1.      PEMBACAAN HEURISTIK
Dalam pembacaan ini, karya sastra dibaca secara linier, sesuai dengan struktur bahasa yang sebagai system tanda tingkat pertama. Untuk menjelaskan arti bahasa bilamana perlu susunan kalimat dibalik seperti susunan bahasa secara normatif, diberi tambahan kata sambung (dalam kurung), kata-kata dikembalikan ke dalam bentuk morfologinya yang normatif. Bilamana perlu, kalimat karya sastra diberi sisipan-sisipan kata dan sinonimnya, diletakkan dalam tanda kurung supaya artinya menjadi jelas. Arti pembacaan sajak “Perarakan Jenazah sebagai berikut.
(Saat itu) kami (sedang) mengiring jenazah hitam (yang ada di) depan kami (adalah) kereta mati (yang) bergerak (dengan) pelan. (Kemudian ada) orang-orang tua berjalan menunduk (dan) diam. (Mereka) di cekam hitam bayangan (kematian). Makam (tampak) muram, awan (tampak) muram. (Mereka) menanti perarakan (jenazah ini) di ujung jalan.
Tapi kami (tetap) selalu berebut kesempatan. Kami (berebut untuk) lempar pandang. Kami (berebut untuk) lempar kembang. (Lalu) bila dara-dara berjengukan (jenazah itu) dari jendela-jendela (yang ada) di sepanjang tepi jalan (itu). Lihat (lah), di mata mereka di bibir mereka (mengatakan bahwa) hidup memerah (seperti bunga yang) bemerkahan. Begitu kami isi jarak (di) sepanjang jalan antara rumah tumpangan dan kesepian kuburan.

2.      PEMBACAAN RETEROAKTIF ATAU HERMENEUTIK
Pembacaan heuristik itu baru memperjelas arti kebahasaaannya, tetapi makna karya sastra atau sajak itu belum tertangkap. Oleh karena itu, pembacaan heuristik dengan pembacaan reteroaktif dan diberi tafsiran (dibaca secara hermeneutik) sesuai dengan konvensi sastra sebagai berikut.
Judul “Perarakan Jenazah” adalah prosesi yang sering dijumpai dalam kehidupan manusia. Saat ada orang yang meninggal, banyak orang yang mengiring jenazahnya untuk dikubur. Biasanya perarakan jenazah dilakukan dari rumah jenazah menuju ke kuburan. Disebut perarakan karena banyak orang yang mengiringi jenazah tersebut menuju ke kuburan atau makam yang akan menjadi tempat jenazah selanjutnya.
Dalam puisi tersebut diceritakan suatu pengiringan jenazah. Kata “jenazah hitam” melambangkan bahwa seseorang yang telah mati itu pasti memiliki kesalahan ketika hidupnya. Kata hitam dapat berarti hal yang jelek atau kesalahan dari jenazah itu sendiri. Orang-orang berada di belakang “kereta mati” yang dapat diartikan keranda yang berjalan menuju kuburan. Para pengiring mengikuti keranda (tempat membawa orang mati). Orang-orang tua yang mengiringi jenazah itu menunduk diam karena mengingat umur mereka. Saat melihat kematian, orang yang berusia lanjut akan merasa bahwa ia juga akan mengalaminya dalam waktu yang tak lama lagi. Kata “menunduk diam” menunjukkan bahwa banyak orang tua yang merenungi kematiannya sendiri setelah melihat kematian orang lain.
Mereka dicekam bayangan hitam yakni bayangan tentang kematian itu sendiri. Bayangan tersebut hitam karena memiliki kesan menakutkan. Makam menantikan jenazah sampai ke pemakaman. Ketika jenazah sampai ke pemakaman akan dikubur di makam dan kata “awan muram” berarti saat itu suasana yang ada atau keadaan yang ada adalah kesedihan dari semua yang mengetahui kematian itu. Makam menanti jenazah ke pemakaman.
Orang-orang yang mengiringi jenazah itu ke pemakaman sering berebut untuk melempar pandang ke arah jenazah itu karena penasaran tentang suatu kematian. Orang yang mengiringi itu selalu berebut untuk melihat jenazah yang diiringinya. Selain itu orang-orang yang mengiringi juga berebut untuk melempar kembang. Biasanya jenazah yang yang dikubur ditaburi dengan bunga. Saat jenazah dibawa ke pemakaman dan melewati jalan yang panjang, banyak orang yang melihat. Kata “dara-dara” pada puisi itu menunjukkan orang-orang yang masih muda. Saat melihat kematian, orang yang masih muda tidak langsung merenungi hidupnya dan mereka pun tidak membicarakan bagaimana kematian mereka. Hal tersebut diperjelas dengan baris “hidup memerah bermerkahan”, baris ini menjelaskan bahwa orang-orang yang masih muda biasanya tidak memikirkan kematian. Kata “memerah bermerkahan” berarti sesuatu yang baru akan dimulai atau sesuatu yang masih panjang perjalannya. Oran yang masih muda diibaratkan hidupnya memerah bermerkahan atau penuh dengan semangat. Saat melihat suatu kematian, orang-orang muda menganggap bahwa hidupnya masih panjang dan harus memiliki semangat untuk melaluinya.
Pada bait terakhir menjelaskan pengiringan jenazah telah selesai karena jenazah telah dikuburkan. Setelah jenazah dikuburkan, para pengiring meningalkan jenazah itu. Setelah jenazah dikubur terdapat jarak antara ruumah yang dulu ia tempati dengan pemakaman tempat ia dikubur.

3.      ANALISIS GAYA BAHASA
Untuk dapat menangkap makna karya sastra secara keseluruhan, lebih dahulu harap diterangkan gaya bahasa dalam wujud kalimat atau sintaksisnya, kemudian diikuti analisis gaya kata, dan yang terakhir analisis gaya bunyi.
a.      Gaya kalimat
Sajak memerlukan kepadatan dan ekspresivitas karena sajak itu hanya mengemukakan inti masalah atau inti pengalaman. Oleh karena itu terjadi pemadatan, hanya yang perlu-perlu saja dinyatakan, maka hubungan kalimat-kalimatnya implisit, hanya tersirat saja. Hal ini tampak pada baris-baris atau kalimat-kalimat dalam setiap bait. Jadi gaya kalimat demikian disebut gaya kalimat implisit. Dalam puisi tersebut terdapat pemadatan kalimat sebagai berikut.
Perarakan Jenazah
(Saat itu) kami (sedang) mengiring jenazah hitam
(yang ada di) depan kami (adalah) kereta mati (yang) bergerak (dengan) pelan
(kemudian ada) orang-orang tua berjalan menunduk (dan) diam
(mereka) di cekam hitam bayangan (kematian)
makam (tampak) muram awan (tampak) muram
(mereka) menanti perarakan (jenazah ini) di ujung jalan.

tapi kami (tetap) selalu berebut kesempatan
kami (berebut untuk) lempar pandang
kami (berebut untuk) lempar kembang
(lalu) bila dara-dara berjengukan (jenazah itu) dari jendela-jendela (yang ada) di sepanjang tepi jalan (itu)
lihat (lah), di mata mereka di bibir mereka (mengatakan bahwa)
hidup memerah (seperti bunga yang) bemerkahan

 Begitu kami isi jarak (di) sepanjang jalan
Antara rumah tumpangan dan kesepian kuburan.

b.      Gaya kata
Terdapat beberapa macam gaya kata dalam puisi yang berjudul Perarakan Jenazah karya Hartojo Andangdjaja. Gaya kata tersebut sebagai berikut.

Personifikasi
Gaya kata personifikasi terdapat pada baris “makam muram awan muram”. Kata makam dan awan merupakan benda mati. Sedangkan kata muram adalah kata kerja yang sering dilakukan manusia. Muram sendiri biasanya mengisyaratkan perasaan sedih, gundah ataupun gelisah. Selain itu perasaan juga hanya dimiliki oleh makhluk hidup seperti manusia. Baris tersebut merupakan personifikasi. Makam dan awan yang merupakan benda mati dianggap seolah-olah hidup dan memiliki perasaan sehingga berwajah muram.
Personifikasi adalah gaya kata atau gaya bahasa yang mengibaratkan benda mati dapat hidup dan bertingkah seperti manusia. Jadi, baris tersebut merupakan personifikasi. Makam dan awan merupakan benda mati yang dianggap dapat bertingkah seperti manusia.
Metafora
Gaya kata metafora terdapat pada baris “Kami mengiring jenazah hitam”. Metafora merupakan kiasan tidak langsung. Dalam baris tersebut, kata jenazah hitam bukan berarti jenazah yang berwarna hitam tapi mengandung makna tertentu yang lebih luas. Kata jenazah hitam dapat berarti jenazah yang memiliki kesalahan baik sedikit maupun banyak di kala hidupnya dulu. Selain itu kata jenazah hitam juga dapat berarti jenazah yang membawa kesedihan kepada semua yang ditinggalkannya. Dari kedua arti tersebut masih banyak dicari artinya lagi tergantung pada penafsiran pembaca. Jadi kata jenazah hitam pada baris tersebut merupakan gaya kata metafora karena merupakan kiasan tidak langsung yang memiliki arti yang sangat luas.
Gaya kata metafora yang kedua terdapat pada baris “hidup memerah bermerkahan”. Metafora merupakan kiasan tidak langsung. Dalam baris tersebut bukan berarti hidup yang berwarna memerah dan bermerkahan. Baris tersebut dapat berarti hidup yang masih banyak semangat dan masih panjang usianya. Warna merah biasanya berarti suatu semangat dan bermerkahan biasanya terjadi pada kuncup bunga yang mulai mekar. Ketika bunga mulai bermerkahan, maka waktunya untuk layu masih lama. Hal tersebut memperjelas baris sebelumnya karena pada baris sebelumnya penyair menceritakan kata dara-dara yang dapat berarti orang-orang yang masih muda.
Dalam baris tersebut dapat dilihat bahwa kata hidup memerah bermerkahan mengiaskan tentang masa muda yang masih penuh dengan semangat dan biasanya masih memiliki jalan yang panjang untuk hidup. Kata-kata tersebut tidak berarti hidup yang berwarna memerah dan bermerkahan. Jadi, kata hidup memerah bermerkahan merupakan metafora karena merujuk pada arti lain atau kiasan tidak langsung.
Metonomia
Metonomia dalam bahasa Indonesia sering disebut kiasan pengganti nama. Bahasa ini merupakan penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut (Altenbernd, 1970: 21). Dalam puisi tersebut gaya kata metonomia terdapat pada baris depan kami kereta mati bergerak pelan. Kata kereta mati pada baris di atas merupakan kata yang digunakan untuk menggantikan nama benda lain. Kata kereta mati menggantikan nama untuk keranda. Keranda adalah tempat usungan mayat atau jenazah yang bertutup (KBBI). Penyair tidak menggunakan kata keranda tapi menggunakan kata kereta mati untuk menambah estetika dalam puisi yang ia buat. Jadi kata kereta mati pada baris di atas merupakan kiasan pengganti nama atau metonomia.
Sinekdoki pars pro toto
Sinekdoki adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri (Altenbernd, 1970: 22). Sinekdoki pars pro toto merupakan bahasa kiasan yang menyatakan sebagian untuk keseluruhan.
Dalam puisi Perarakan Jenazah karya Hartojo Andangdjaja gaya kata tersebut terdapat pada baris lihatlah, di mata mereka di bibir mereka. Mata dan bibir merupakan bagian yang ada dalam tubuh manusia. Bagian yang disebutkan itu mewakili keseluruhan manusia baik fisik maupun psikis. Mata dan bibir mewakili keseluruhan tubuh manusia dan segala perasaan yang ada. Hal tersebut diperjelas pada baris selanjutnya yang berbunyi hidup memerah bermerkahan, dari baris itu terlihat bahwa kata mata dan bibir mewakili keseluruhan aspek kehidupan manusia baik fisik maupun psikis. Jadi dalam baris tersebut terdapat sinekdoki pars pro toto yaitu pada kata mata dan bibir.

c.       Gaya bunyi
Bunyi berfungsi untuk mendukung atau memperkeras arti kata ataupun kalimat. Gaya bunyi memperdalam makna kata dan kalimat. Dalam sajak ini tampak sebagai berikut.
Bait 1
kami mengiring jenazah hitam
Asonansi pada baris di atas adalah huruf “i” dan “a” karena memiliki jumlah yang sama banyak pada baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata kami, mengiring, jenazah, hitam. Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf “m” dan “n” karena memiliki jumlah yang sama banyak. Hal tersebut dibuktikan dengan kata kami, mengiring, jenazah, hitam.
depan kami kereta mati bergerak pelan
Asonansi pada baris di atas adalah huruf “e” dan “a” karena memiliki jumlah yang sama banyak pada baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata depan, kami, kereta, mati, bergerak, pelan. Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf  “k” karena memiliki jumlah terbanyak. Hal tersebut dibuktikan dengan kata kami, kereta, bergerak.
orang-orang tua berjalan menunduk diam
Asonansi pada baris di atas adalah huruf “a” karena memiliki jumlah terbanyak pada baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata orang-orang, tua, berjalan, diam. Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf  “n” karena memiliki jumlah terbanyak. Hal tersebut dibuktikan dengan kata orang-orang, berjalan, menunduk.
dicekam hitam bayangan
Asonansi pada baris di atas adalah huruf “a” karena memiliki jumlah terbanyak pada baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata cekam, hitam, bayangan. Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf “m” dan “n” karena memiliki jumlah terbanyak dalam baris tersebut. Hal tersebut dibuktikan dengan kata cekam, hitam, bayangan.
makam muram awan muram
Asonansi pada baris di atas adalah huruf “a” karena memiliki jumlah terbanyak pada baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata makam, muram, awan, muram. Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf “m” karena memiliki jumlah terbanyak. Hal tersebut dibuktikan dengan kata makam, muram, muram.
menanti perarakan di ujung jalan
Asonansi pada baris di atas adalah huruf “a” karena memiliki jumlah terbanyak pada baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata menanti, perarakan, jalan. Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf “n” karena memiliki jumlah terbanyak. Hal tersebut dibuktikan dengan kata menanti, perarakan, ujung, jalan.
Bait 2
tapi kami selalu berebut kesempatan
Asonansi pada baris di atas adalah huruf “i” dan “a” karena memiliki jumlah yang sama pada baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata kami, mengiring, jenazah, hitam. Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf “m” dan “n” karena memiliki jumlah yang sama. Hal tersebut dibuktikan dengan kata kami, mengiring, jenazah, hitam.
kami lempar pandang
Asonansi pada baris di atas adalah huruf “a” karena memiliki terbanyak pada baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata kami, lempar, pandang. Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf “m”, “n” dan “p” karena memiliki jumlah yang sama. Hal tersebut dibuktikan dengan kata kami, lempar, pandang.
kami lempar kembang
Asonansi pada baris di atas adalah huruf “a” karena memiliki jumlah terbanyak pada baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata kami, lempar, kembang. Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf “m” karena memiliki jumlah terbanyak. Hal tersebut dibuktikan dengan kata kami lempar kembang.
bila dara-dara berjengukan
Asonansi pada baris di atas adalah huruf “a” karena memiliki jumlah terbanyak pada baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata bila, dara-dara, berjengukan. Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf “r” karena memiliki jumlah terbanyak. Hal tersebut dibuktikan dengan kata dara-dara, berjengukan.
dari jendela-jendela di sepanjang tepi jalan
Asonansi pada baris di atas adalah huruf “a” karena memiliki jumlah terbanyak pada baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata dari, jendela-jendela, sepanjang, jalan. Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf “n” karena memiliki jumlah terbanyak. Hal tersebut dibuktikan dengan kata jendela-jendela, sepanjang, jalan.
lihat, di mata mereka di bibir mereka
Asonansi pada baris di atas adalah huruf “a” karena memiliki jumlah terbanyak pada baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata lihat, mata, mereka. Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf “m” karena memiliki jumlah terbanyak. Hal tersebut dibuktikan dengan kata mata, mereka.
hidup memerah bemerkahan
Asonansi pada baris di atas adalah huruf “e” karena memiliki jumlah terbanyak pada baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata memerah, bermerkahan. Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf “m” dan “h” karena memiliki jumlah yang sama. Hal tersebut dibuktikan dengan kata hidup, memerah, bermerkahan.
Bait 3
Begitu kami isi jarak sepanjang jalan
Asonansi pada baris di atas adalah huruf “a” karena memiliki jumlah terbanyak pada baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata kami, jarak, sepanjang, jalan. Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf “j” karena memiliki jumlah terbanyak. Hal tersebut dibuktikan dengan kata jarak, sepanjang, jalan.
Antara rumah tumpangan dan kesepian kuburan
Asonansi pada baris di atas adalah huruf “a” karena memiliki jumlah terbanyak pada baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata antara, rumah, tumpangan, dan, kesepian, kuburan. Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf “n” karena memiliki jumlah terbanyak. Hal tersebut dibuktikan dengan kata antara, tumpangan, dan, kesepian, kuburan.
Dari analisis di atas dapat diketahui bahwa asonansi terbanyak yang ada pada puisi tersebut adalah vokal “a”. Sedangkan aliterasi yang terbanyak pada puisi tersebut adalah konsonan “n”.

d.      Pengimajian
Pengimajian yang terdapat pada puisi yang berjudul Perarakan Jenazah karya Hartojo Andangdjaja sebagai berikut.



Imaji Visual
                                    Kami menggiring jenazah hitam
Dari baris di atas penyair membuat pembaca seolah-olah melihat jenazah yang berwarna hitam. Hitam menunjukkan suatu warna. Warna hanya dapat diketahui melalui indera pengelihatan. Warna tidak dapat didengar ataupun dirasakan. Jadi baris di atas merupakan imaji visual karena membuat pembaca seolah-olah melihat warna hitam pada jenazah yang diiring itu.
                              Makam muram awan muram
Dari baris di atas, pembaca dibuat seolah-olah melihat makam yang muram dan awan yang muram. Penyair mengajak pembaca untuk membayangkan makam yang muram dan awan yang muram. Kata muram sendiri menunjukkan suatu perilaku yang hanya bisa diketahui melalui indera pengelihatan. Muram tidak bisa didengar maupun dirasakan tapi bisa dilihat. Jadi kata muram pada baris di atas memberikan imaji visual kepada pembaca karena membuat pembaca seolah-olah melihat makam yang muram dan awan yang muram.
                              Bila dara-dara berjengukan
                              Dari jendela-jendela di sepanjang tepi jalan
Dari dua baris di atas, membuat pembaca seolah-olah melihat dara-dara yang berjengukan dari jendela-jendela di sepanjang tepi jalan. Kata dara biasanya diartikan perempuan yang belum menikah atau masih gadis. Dara, jendela, tepi jalan merupakan benda-benda yang dapat dilihat oleh mata atau indera pengelihatan. Jadi kata-kata tersebut merupakan imaji visual.
Imaji Auditif
                              Orang-orang tua berjalan menunduk diam
Dalam baris di atas terdapat imaji auditif. Kata diam merupakan suatu kegiatan yang dilakukan manusia. Dari kata diam tersebut, pembaca dibuat seolah-olah tidak mendengarkan apapun. Diam dapat berarti tidak mengeluarkan suara apapun. Saat diam, maka indera pendengaran pun tidak mendengarkan suara. Jadi dari baris di atas merupakan imaji visual karena pembaca dibuat seolah-olah tidak mendengarkan apapun.

Imaji Taktil
                              Dicekam hitam bayangan
Dalam baris di atas terdapat imaji taktil atau perasaan. Kata dicekam membuat pembaca seolah-olah merasakan tertekan dan ngeri oleh hal-hal yang menakutkan, mencemaskan, dsb. Dalam baris itu penyair melibatkan perasaan pembaca untuk ikut merasakan puisi itu. Jadi kata dicekam merupakan imaji taktil karena membuat pembaca seolah-olah meraskan suatu perasaan yang disebutkan di atas.
                  Antara rumah tumpangan dan kesepian kuburan
Dalam baris di atas, kata kesepian membuat pembaca seolah-olah merasakan sepi. Kata tersebut merupakan imaji taktil atau perasaan karena melibatkan perasaan pembaca untuk ikut merasakan sepi. Jadi dalam baris di atas terdapat imaji taktil yang membuat pembaca ikut merasakan suatu perasaan yakni perasaan sepi. 

D.    SIMPULAN
Pada analisis puisi yang berjudul Perarakan Jenazah karya Hartojo Andangdjaja dilakukan pembacaan heuristik, pembacaan hermeunik dan analisis gaya bahasa. Dalam analisis gaya bahasa dilakukan analisis pada gaya kalimat, gaya kata, gaya bunyi dan pengimajian. Setelah dilakukan analisis tersebut maka dapat disimpulkan memperoleh hasil yakni makna puisi Perarakan Jenazah yang berisi tentang cerita suatu kematian melalui pembacaan heuristik. dan pembacaan reteroaktif atau hermeunik. Analisis gaya bahasanya meliputi: gaya kalimat terdapat pemadatan kalimat di setiap barisnya; gaya kata ditemukan personifiasi, metafora, metonomia dan sinekdoki pars pro toto; gaya kata ditemukan asonansi dan aliterasi pada setiap barisnya dan pengimajian ditemukan imaji visual, imaji auditif dan imaji taktil.
E.     DAFTAR PUSTAKA
Pradopo, Rahmat Djoko. 2010. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press
Waluyo, Herman J. 2010. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widya Sari Press Salatiga

1 comment:

  1. alhamdulillah ada referensi makalah ini ,kebetulan aku ada tugas kajian puisi tentang heuristik dan hermenitik.makasi ya mba kartikasari

    ReplyDelete

“Terima kasih sudah membaca blog saya, silahkan tinggalkan komentar”